HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Shalat Boleh di Langgar


Tiga dekade lalu di daerah rumah saya tinggal masih banyak bulakan, empang, rawa, sawah, dan kebon kosong. Nah kalau untuk urusan shalat boleh di langgar.

Eits, bukan dilanggar ya, tapi di langgar, pake spasi. Anak-anak yang gak shalat saat itu bukan hanya dirotan sama guru ngaji, tetapi juga bakal digesperin sampe merah-merah sama ortunya.

Di masing-masing kampung biasanya ada program mendaras juz amma, tajwid qiroati, tahsin, syaifahul jinnan, al anwar al muhammadiyah, jurumiyah, dan lain-lain. Tetapi semua yang dipelajarin itu lenyap sejak kehadiran dingdong. Teknologi gim yang mulai masuk di era 80an akhir dan 90an awal seperti dingdong, gameboy, alfa, tetris, nintendo, sega, dan terakhir PS, merenggut hafalan dan merampas kedisiplinan ngaji dan membaca. Termasuk saya.

Langgar dalam bahasa Betawi, Jawa, Sunda, dan serapan Indonesia adalah penyebutan untuk mushala. Di zaman saya dulu memang jarang sekali ada masjid. Ukuran langgar hanya 5x5 dengan dinding dan atap sederhana. Tak banyak hiasan kaligrafi, apalagi lampu kristal berkilauan. Tak ada kubah, tak ada karpet mahal.

Tetapi jangan salah, saat itu langgar di kampung-kampung sangat makmur. Tak pernah sepi dari berbagai kegiatan. Selain shalat 5 waktu, ada pengajian anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, siapa yang punya anak bilang aku, aku yang tengah malu sama teman-temanku karena cuma diriku yang tak laku-laku. Lah malah nyanyi.

Ok balik lagi. Saya masih ingat, di dekat langgar saat itu ada rumah tetangga yang punya kebon luas. Di kebon itu ada macem-macem pohon gede; nangka, mangga, dan rambutan. Ditambah masing-masing rumah tetangga masih menanam pohon gede kayak jambu air. Jadi sekitaran rumah kalau siang adem, sejuk, tetapi kalau malam suasana mencekam. Pohon-pohon gede itu pun jadi sasaran cerita horor; di kebon Pak Yaya sering nongol setan. Ditambah pada zaman itu lagi ngetop-ngetopnya sandiwara radio "Mak Lampir". Pan jadinya otak bocah saya tersugesti takut yak.

Nah karena itu saya sehabis shalat Maghrib dan Isya lanjut ngaji, bakalan nunggu tetangga yang pulang dari langgar. Kalau gak ada barengan, terpaksa untuk ngilangin rasa takut, saya dari pagar langgar bakalan lari sampe ke rumah sambil teriak; "Ibu......."

Comments

YOUTUBE