HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Sewaktu Rajab Tiba

Mehmed Celebi sedang bingung. Bocah yang tidak lagi bisa dibilang ingusan ini sedang dilema. Pikirannya dipenuhi kekalutan. Hatinya dijejali kebimbangan. Ia sedang didera masalah yang sebenarnya bukan masalahnya. Baginya, persoalan itu seperti ombak yang menggulungnya ke tengah lautan, saat sedang syahdu berjemur di pinggiran pantai.

Persoalan yang sedang mendekapnya erat-erat, membuat dadanya sesak. Hatinya tergerus. Tapi ia mencoba memosisikan diri di tengah-tengah timbangan.

Sepekan terakhir ia tidak bisa berfikir jernih. Berkotak-kotak informasi yang mungkin sudah terdistorsi, sampai ke telinganya. Ia merasa menjadi orang bodoh. Ia laksana penumpang terakhir di gerbong pertama yang mengetahui jika kereta yang ditumpanginya kecelakaan. Padahal lokomotif kereta sudah terguling.

Di kota tanpa rasa risau, ia menemui seseorang yang dipercaya. Di dalam ruangan kotak beralas karpet merah, Celebi memulai cerita. Sambil duduk bersila, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam menghujam bumi sembari berkata, "Bagaimana saya harus bersikap Abah?"

"Sudah bertanya sama Tuhanmu sebelum meminta pendapat Abah?" tanya laki-laki berjenggot putih di hadapan Celebi.

"Parantos Abah."

"Baca lagi Alfatihah ayat lima, Cep. Seperti yang Bapak kamu dulu ajarkan. Abah juga cuma bisa berpesan itu. Benahi dulu hubungan kamu dengan sesembahan kamu, Allah. Baru kamu meminta."

Laki-laki yang senang bersiwak itu tersenyum, lalu menepuk-nepuk pundak Celebi dengan lembut. "Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in. Hanya Engkaulah yang kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Sama seperti masalahmu beberapa bulan lalu. Jawabannya masih sama, resapi Alfatihah ayat lima."

"Jangan lupa minta maaf kepada orang yang mungkin tanpa kamu sadari sudah kamu sakiti hatinya. Lakukan yang terbaik, meski tidak semua orang menyukai yang kamu lakukan itu. Menjadi orang baik itu penting, tapi jangan pernah merasa lebih baik dari orang lain."

Laki-laki itu membenahi duduknya dan merapikan sarungnya. "Jangan bersikap menghakimi. Kamu bukan Gusti Allah."

“Jika pernah berbuat salah, tutuplah serapat mungkin. Simpan dan akui kesalahan hanya kepada Tuhanmu. Jika pernah mengetahui orang lain berbuat salah, diamlah. Simpanlah di hati, jangan mencaci dan menganggap diri sendiri suci. Karena seorang manusia tidak punya kapasitas untuk menghakimi manusia lain," kamu ingat nasihat ini Celebi. Itu nasihat bapakmu yang ia terima dari kakek kamu.

Celebi makin dalam tertunduk. Pikirannya bergumul dengan masalah yang sedang memenuhi gudang pikirannya. Ia menghela nafas dan perlahan mendongakkan kepala. "Hatur nuhun Abah."

***

Celebi bersimpati. Celebi juga harus bersikap. Tapi ia bukan Tuhan yang berhak menghakimi. Ia bukan pula malaikat yang ciptakan Allah dari cahaya dan disetting hanya untuk selalu beribadah. Celebi justru mengakui jika ia kerap sombong, sifat yang menjadi dosa pertama iblis karena enggan menunduk hormat kepada Nabi Adam as, sehingga ahli ibadah itu pun terusir dari surga.

"Ambil hikmahnya," kata seorang kawan. Setelah menyeruput kopi di cangkir putihnya kawannya kembali berkata, "Semua sayang sama ente, makanya mungkin semua merahasiakan persoalan ini. Takutnya ente kalut."

Celebi hanya menatap kosong. Mencerna kata-kata yang membentuk kalimat dari kawannya tersebut.

Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk di aplikasi bergambar gagang telepon berwarna hijau. Pesan dari seorang adik memakai bahasa Jawa.

"Apa pun informasi sing kowe terimo, kowe kudu tetap waras yo mas."

***

Matahari mulai memanjat langit. Warna hitam langit malam perlahan tersapu cahaya pagi. Celebi masih duduk bersila di atas lembaran anyaman tikar pandan di dalam ruangan yang sengaja diredupkan cahaya buatan.

Celebi berkali-kali teringat nasihat dari laki-laki yang dihormatinya saat dia dihujam masalah beberapa bulan lalu. "Simpan semua perasaan kamu. Biarkan takdir yang bekerja. Sebut namanya di setiap lapis doamu. Doakan dia selalu diselimuti kebahagiaan."

"Jalani hidupmu, jalani pilihanmu. Semuanya bukan kebetulan, semuanya sudah ditakdirkan. Biarkan dia bahagia. Kamu masih punya tanggung jawab besar. Minta ampun, dan ubah sikapmu."

Dua telapak tangan Celebi ditangkupkan ke wajahnya. Helaan nafasnya membuat kacamata yang dipakainya berembun. Dadanya naik turun. Sesegukan.

***


Lipat hingga lipatan terkecil lembaran lama. Simpan di tempat yang layak. Sebab, sekarang sudah Rajab, saatnya bertaubat.

28042016

Comments

YOUTUBE