HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

JP Coen, dan Takluknya Napoleon Bonaparte di Lapangan Banteng

Warga Jakarta pasti pernah mendengar nama Lapangan Banteng. Namun, tahukah Anda jika Lapangan Banteng yang kini sudah direvitalisasi dulunya kumuh. Apalagi sekitar 1970-an saat Jakarta masih dipimpin Gubernur Ali Sadikin, Lapangan Banteng sempat menjadi terminal bus.

Lapangan Banteng dibangun bersamaan dengan Lapangan Gambir atau Lapangan Ikada pada abad ke-19 oleh Gubernur Jenderal Daendels. Di zaman Hindia Belanda, Lapangan Banteng diberi nama Waterlooplein, sementara nama Lapangan Gambir atau Lapangan Monas dulunya bernama Koningsplein atau lapangan raja.

Pertanyaannya, mengapa lapangan itu disebut sebagai Lapangan Banteng? Sebelum bersalin nama menjadi Lapangan Banteng, lahan seluas 5,2 hektare area itu punya berbagai sebutan. Di era kolonial, lapangan itu disebut sebagai Lapangan Singa. Penyebabnya karena di tengah-tengah lapangan itu berdiri sebuah tugu dengan patung singa berdiri di atasnya.

Tugu peringatan itu berdiri sebagai peringatan kemenangan Belanda melawan Prancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte dalam pertempuran Waterloo yang terjadi pada 18 Juni 1815 di dekat Kota Waterloo, sekitar 15 km ke arah selatan dari ibu kota Belgia, Brussels. Itu adalah pertempuran terakhir Napoleon saat dikeroyok pasukan gabungan Inggris-Belanda-Jerman. Dalam catatan sejarah, perang itu sebagai perang pamungkas dari seratus hari sejak larinya Napoleon dari pengasingannya di pulau Elba. Untuk mengejek kekalahan Napoleon, Belanda menyebut lapangan itu sebagai Waterloo Plein.

Indonesia juga punya andil dalam kekalahan Napoleon. Kaisar Prancis dan bala tentaranya yang menaklukkan hampir seluruh dataran Eropa itu akhirnya bertekuk lutut dalam pertempuran Waterloo karena cuaca yang tidak bersahabat, hujan debu. Penyebabnya karena erupsi Gunung Tambora di Pulau Sumbawa yang menewaskan sekitar 100 ribu orang dua bulan sebelum pertempuran.

Letusan Gunung Tambora itu juga berdampak pada penurunan suhu global yang membuat gagal panen serta kelaparan. Karena fenomena alam itu, periode tersebut dijuluki "Tahun Tanpa Musim Panas". Kekalahan Napoleon pun membuat jalannya sejarah berubah haluan.

Namun saat Jepang bercokol di Indonesia pada 1942-1945, semua hal yang berbau Belanda dihancurkan, termasuk Tugu Singa. Namun Jepang yang menjadikan lapangan tersebut sebagai lambang kedidjayaan bangsa Asia terhadap bangsa Eropa itu tidak menghancurkan patung JP Coen, yang dibuat pada 1876 untuk memperingati 200 tahun berdirinya Kota Batavia. Patung JP Coen dihancurkan di era Presiden Soekarno yang juga mengubah nama Waterloo Plein menjadi Lapangan Banteng.

Lapangan itu berganti nama menjadi Lapangan Banteng setelah Indonesia merdeka. Ada sejumlah versi mengapa diberi Lapangan Banteng. Versi pertama, sejak era Belanda wilayah itu sebenarnya juga dikenal sebagai "Buffelsfeld" yang artinya lapangan banteng. Alasannya di wilayah itu dulu ditemukan banyak kubangan karena tanahnya diambil untuk membuat batu bata. Kubangan itu pun dijadikan tempat berendam kerbau.

Namun versi yang paling sering diceritakan karena lapangan itu dulunya dihuni berbagai macam satwa liar seperti macan, kijang, dan banteng. Jakarta yang dulu hutan belantara memang sempat menjadi habitat hewan liar. Sewaktu JP Coen membangun Batavia di dekat muara Ciliwung, lapangan itu dan sekelilingnya masih berupa hutan.

Abah Alwi Shahab, sejarawan Jakarta, pernah bercerita jika lapangan itu di zaman Gubernur Jenderal Herman William Daendels, pernah dijadikan latihan militer. Memang dalam catatan sejarah, Daendels selama menjabat mendapatkan tugas membangun area tersebut sebagai pusat pertahanan militer di tanah Jawa.

Daendels juga membangun ‘gedung putih’ di Lapangan Banteng. Kini gedung itu menjadi kantor Kementerian Keuangan. Dulu di samping gedung putih yang batal dijadikan istana gubernur jenderal itu ada sebuah gedung Club Concordia, tempat hiburan para petinggi militer.

Saban akhir pekan, para perwira dengan istri atau pasangan mereka berdansa di lantai pualam, diiringi musik hasil karya komposer terkenal, seperti Strauss, Offenbach, Verdi, dan Donizetti. Wanita-wanitanya memakai pakaian impor dari Paris dan London. Namun setelah penyerahan kedaulatan, gedung ini dijadikan sebagai gedung DPR di era demokrasi liberal.

Di era Ali Sadikin, Lapangan Banteng itu dijadikan terminal bus yang melayani beragam jurusan di Ibu Kota, seperti Cililitan, Blok M, Priok, dan Grogol. Bus legendaris di terminal itu berasal dari Bulgaria bernama Robur.

Terminal Lapangan Banteng saat itu tidak pernah tidur. Selain beroperasi selama 24 jam, di dekatnya dulu berjejer rumah makan yang buka seharian penuh. Ada juga tempat penjualan buku dan majalah, serta komik.

Umumnya sebuah terminal, para penumpang angkutan umum harus ekstra waspada menjaga barang berharganya. Soalnya di terminal Lapangan Banteng dulu terkenal sebagai 'daerah jajahan' para copet kelas atas.

Kini di lapangan itu bukan lagi berdiri patung singa atau patung sang pendiri Batavia, JP Coen. Kedua patung yang dianggap merepresentasikan era Kolonial itu digantikan patung seorang pria bertubuh kekar yang menjulang menyundul langit. Patung berbahan perunggu itu menjadi bagian dari Tugu Pembebasan Irian Barat.

Berdiri sejak 17 Agustus 1963, patung itu erat kaitannya dengan sejarah Trikora (Tri Komando Rakyat) dan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Indonesia setelah bebas dari cengkraman Belanda. Trikora adalah nama operasi yang dikumandangkan Presiden Soekarno di Yogyakarta untuk pembebasan Irian Barat.

Soekarno yang memiliki ide membuat patung setinggi 9 meter itu. Lalu Henk Ngantung --Gubernur Jakarta periode 1964-965, menerjemahkannya dalam bentuk sketsa. Kabarnya, Soekarno sendiri yang menjadi model sketsa Henk Ngantug. Sketsa itu mengilustrasikan seseorang yang telah bebas dari penjajahan dan diterjemahkan melalui rantai serta borgol pada patung tersebut.

Kaki patung dibuat oleh Friedrich Silaban yang juga perancang Masjid Istiqlal. Namun, patung seberat delapan ton itu diselesaikan dalam waktu 12 bulan oleh maestro patung Edhi Sunarso. Pematung kesayangan Presiden Soekarno dan pernah disekolahkan ke Rusia untuk mempelajari ilmu diorama itu, juga membuat Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan Patung Dirgantara yang dikenal sebagai "Patung Pancoran".

Lapangan Banteng juga pernah menjadi gelanggang politik. Lapangan itu menjadi tempat kampanye berbagai partai politik pada Pemilu 1955 dan 1971. Termasuk saat kerusuhan ketika Partai Golkar berkampanye di Lapangan Banteng pada 1982. Saat itu panggung dan alat musik dibakar massa. Kerusuhan disebut-sebut dipicu massa PPP yang iri lantaran Partai Golkar mendapatkan fasilitas mewah dari pemerintah. Namun, versi lain mengatakan jika kerusuhan dipicu elite Golkar sendiri untuk mendeskriditkan pesaingnya.
Lapangan Banteng juga kerap menjadi arena demonstrasi. Di lapangan itu mahasiswa menggelar aksi menuntut Presiden Soekarno mundur dari jabatannya. Sementara Pada 9 November 1965 pascaperistiwa G30S PKI, sekitar 1,5 juta orang berkumpul di Lapangan Banteng menuntut PKI dibubarkan.


Pasca-Soekarno jatuh dan Orde Lama tumbang, lapangan itu tetap menjadi parlemen jalanan. Aksi massa mengkritik pemerintah tak berhenti di era Orde Baru. Termasuk saat 15 Januari 1974 atau dikenal peristiwa kerusuhan Malari (Lima Belas Januari).

Comments

YOUTUBE