HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Mbah Uti


Tubuhnya masih bugar, jauh dari kesan kaku. Meski usianya sudah menyentuh kepala tujuh. Selendang berpayet sutra menjulur warna biru muda di pundaknya. Bibir keriputnya dipenuhi bacaan Asmaulhusna. Mata sayu tergerus waktu. Hidungnya mancung, cantik laiknya perempuan jawa ningrat, rambut asimilasi perak dan hitamnya digelung rapi dengan konde berukir bunga melati dengan bersepuh warna keemasan. Kacamata berbingkai perak cemantel di wajah bulat yang sudah mengendur dan nyaris dipenuhi keriput. Perempuan itu menatapku. Tanpa ragu. Tangan kasar hasil tempaan kerasnya kehidupan membekapku. Manja. Namun hangat!

"… anakku sing bagus rupane (1)… Tak lelo, lelo lelo lekdung, anakku…" senandungnya selalu terdengar saat mengeloni aku.

Beliau adalah ibu dari ayahku, ibu mertua dari bundaku. Aku memanggilnya Embah Uti. Sapaan masyarakat Jawa untuk memanggil nenek. Sebelum beliau pensiun, sembilan tahun sebelum aku keluar dari rahim bundaku, beliau adalah seorang pahlawan. Ya, Pahlawan dalam arti sesungguhnya. Aku tidak bohong. Ah, kamu mungkin tak percaya kalau beliau itu pahlawan. Beliau adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Memang tak ada lambang bintang di pundaknya, karena tanda jasa tidak begitu penting ketimbang kepuasan jiwa. Meski nasib pahlawan sepertinya sering diombang-ambing tangan-tangan kekuasaan sang raja sinting.

Suatu waktu beliau pernah berjualan kangkung, sayuran dan entah apapun di pasar tradisional dekat rumahku. Bukan di kios, ia tak mampu menyewa kios yang harganya tiga kali lipat sebulan gajinya kala itu. Tapi ia menghamparkan dagangannya di pinggir trotoar dekat terminal. Hanya bermodal kayu bekas peti buah dan uang seperak sebagai jatah preman. Itu pun pagi buta sebelum para KW perwira mengusir paksa dengan sepatu semi tentara. Semuanya demi membuat dapur tetap berasap. Tak ada yang mengetahui hal itu, bahkan mungkin ayahku. Aku juga mengetahuinya dari cerita Bu'de ku yang mengaku menemani Mbah Uti. Kenapa sekeras itu perjuangan seorang pemberi ilmu di negeri makmur ini. Ah, bukan rahasia lagi mininya gaji guru jaman orde baru. Gaji seminggu mungkin hanya sampai rabu.

Selain aku mungkin hanya pamanku yang mengetahui pedihnya kehidupan perempuan yang jarang terlihat dirundung duka itu. Ya, pamanku, adik dari ayahku. Ia tak mau di panggil om. Terkontaminasiwong londo (2) katanya. Ia hanya akan menoleh bila ku panggil dengan sebutan Paklik atau Mamang. Semuanya memiliki arti sama; paman. Paklik dari Jawa Tengah dan Mamang dari Jawa Barat.

Waktu aku masih balita, paman ku sendiri memanggilku gundul atau caplang. Itu karena rambutku yang memang tak pernah tumbuh lebat dan kedua kupingku caplang. Padahal caplangku warisan dari Ayah dan pamanku juga. Tapi pamanku selalu dicubit Mbah Uti bila memanggilku dengan dua panggilan tadi. Pun bila pamanku iseng memeloroti celanaku, hingga 'burung'ku terlihat. Lengan paman selalu jadi terminal dari tangan Mbah Uti.

Di keluarga Embah Utiku, aku serba pertama. Aku adalah anak pertama kedua orang tuaku, cucu pertama Embah Utiku, dan keponakan pertama Bu'de dan pamanku. Mungkin itulah Ayahku memberiku nama Muhammad Kahfi Pratama. Semua serba pertama. Namun pamanku menyematkan nama Prawira dibelakang nama Pratama. Prawira adalah nama bapak dari ayahku. Aku memanggil beliau dengan sebutan Aki, sebutan kakek dari tanah pasundan. Aki ku memang lahir dari kota kaya budaya dan sejarah. Kota para wali, yang juga kota Kanoman dan Kasepuhan.

Aki ku meninggal jauh sebelum aku lahir. Bahkan sebelum ayah dan ibuku bertemu di kampus hijau. Cerita pamanku, bila Aki belum meninggal sewaktu aku lahir. Mungkin aku bakal dibuatkan bermacam-macam mainan. Aki ku, masih cerita pamanku, memang seorang pandai kayu, pandai besi, dan pandai lain-lain. Tukang, sebutan kasarnya bila tak mau dibilang kuli. Tapi aku tetap bangga, karena hampir satu RT bakal meminta tolong ayahku bila ada masalah di rumahnya yang berhubungan dengan kepandaian Aki. Peduli setan pikirku, yang penting Aki-ku bukanlah seorang penjahat atau koruptor. Bahkan Aki-ku memilih pensiun dini dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) ketika dituding rekannya menggelapkan laporan keuangan salah satu departemen, tempat Aki-ku bekerja dulu. Jauh lebih mulia dan bangga memiliki pendahulu seorang berbudi luhur meski sederhana, ketimbang berlimpah harta tapi hasil arogansi pribadi, hasil nyolong pula.

Aku besar bersama Mbah Utiku. Waktuku lebih banyak dihabiskan dengan Mbah Uti. Ayah dan Bundaku yang mengikuti jejak Mbah Uti sebagai guru, baru bisa bertemuku selepas jam tiga sore. Selepas shalat subuh mereka berdua mengajar. Meski terkadang ayahku juga suka membolos pulang bila Mbahku hanya sendirian di rumah bersamaku.

Suatu waktu, pukul empat pagi. Aku terjaga. Tapi bukan ayah dan ibuku yang pertama terbangun. Lagi-lagi Mbahku yang menepuk pahaku. "Usst..Usst..mimpi yo cah bagus, wis ra opo-opo bobo meneh(3)," ujar Mbah Utiku seraya mengipasi dengan kipas bambu. Tenang. Aku memang merasa tenang berada di dekat Mbah Utiku. Aku bak seorang pangeran yang tak bisa ditentang. Begitulah bila Mbah Uti yang pegang kendali.

Rumahku sederhana, maksudku rumah milik Mbah Utiku, peninggalan Aki yang membelinya dengan mempertaruhkan seluruh gajinya selama 10 tahun. Nuansa rumah kayu bercat hijau muda berpadu merah ranum. Pekarangannya lumayan luas, untuk ukuran rumah hibah pemerintah. Semuanya dipenuhi rumput dan tanaman obat dengan pagar bambu yang seolah mengepung rumahku.

Aku tak pernah bisa jauh dari rumah ini. Homesick. Pernah beberapa pekan aku dititipkan kepada paman dan istrinya lantaran ayah dan ibuku sedang mengikuti penataran di luar kota. Rumah pamanku memang tak jauh dari rumah Mbah Uti. Tapi apa lacur, aku yang masih bocah berusia tiga tahun kala itu tak betah jauh dari Mbah Uti dan Bundaku. Walaupun pamanku selalu memanjakanku, aku sering menangis.

Semua ingatan masa lalu. Sekedar informasi, saat ini aku mengelola sebuah kedai bernuansa sunda-jawa yang cukup terkenal di tanah Bang Pitung. Aku diamanahi jabatan itu oleh pamanku yang sudah jadi wirausaha di usia yang belum menyentuh kepala empat. Awalnya aku menolak, karena aku masih kuliah dan aku jurusan yang kuambil bukan berlatarbelakang bisnis.

"Mamang juga tidak punya pengalaman jadi wirausaha. Kamu tahu Mamang bukan orang bisnis, tapiAlhamdulillah Mamang bisa seperti sekarang. Semua itu demi Mbah Uti, demi kamu juga. Kamu pasti tahu kalau Mbah Uti itu pernah dagang Kangkung kan? Jangan kalah sama semangat Mbah Uti dong," cecar pamanku.

Hehehe… Ternyata paman tahu kalau aku mencuri dengar oboralan Bu'de dan paman. Aku tak bisa menolak. Tapi setelah satu tahun, aku merasakan positifnya. Aku sudah tidak lagi minta uang bayaran kuliah dari orang tuaku. Aku bisa membiayai sendiri dari gajiku. Bahkan aku bisa selalu dekat dengan Mbah Utiku. Selalu dekat itulah yang paling aku cari. Semua itu karena kedai milik pamanku tak jauh dari rumah Mbah Uti. Itu yang membuatku semangat. Aku tinggal dengan Mbah Utiku lagi, setelah tinggal terpisah selama 10 tahun karena Ayah dan Bunda membeli rumah yang cukup jauh dari rumah Mbah Uti. Tapi Ayah dan Bundaku tak keberatan saat aku memutuskan tinggal bersama Mbah Uti beserta Bu'de dan Pa'deku dan dua saudara sepupuku.

Saat ini aku cucu terbesar. Sepupu-sepupuku lebih muda dariku. Meski Mbah Utiku sudah memiliki 14 cucu, termasuk dua adik perempuanku yang masih berseragam abu-abu, tapi tetap saja aku yang selalu didahulukan. Bahkan dengan kedua anak Bu'deku yang tinggal bersama Mbah Uti.

Itulah mengapa aku senang berada di dekat Mbah Utiku. Aku bahkan memilih menghabiskan waktu liburku bercengkrama bersama Mbah Uti dan Ayah-Bundaku, ketimbang berleye-leye dengan teman-teman kampus.

"Kamu sudah maem le'?," tanya Mbah Utiku suatu waktu yang sedang asyik di kursi goyang rotan pemberian pamanku. "Sampun Mbah (4)," jawabku halus yang dibalas dengan senyuman tipis Mbah Uti. Aku pun mencoba berakrab ria dengan suasana menjelang senja.

Sore itu mentari tersenyum manja. Cahayanya menerobos di celah-celah tirai bambu yang menggantung di teras rumah. Tanganku tak berhenti memijit tangan Mbah Uti yang masih sibuk mengeja tasbih perak di tangan kanannya. Azan Magrib menggema mengalahkan lolongan puluhan anjing peliharaan tetangga depan rumahku yang sepertinya kelaparan. Langit berangsur gelap. Hitam seperti tinta gurita. Aku tertidur sebelum terbangun sesaat kemudian.

Sayup terdengar sapaan akrab. "Eh gundul udah bangun," suara pamanku yang langsung mendaratkan kecupan di sekujur wajahku. Kupandangi sekitar perlahan. Kuputar kepalaku. Semuanya sedang berkumpul. Mbah Uti, kedua Bu'deku dan Pa’deku, Ayah, Bunda ada juga paman. Aku yakin ini hari libur, sebab pamanku yang masih menjadi karyawan sembari menjalankan bisnisnya tidak mungkin ada di rumah pada siang hari. Oh aku salah, jam dinding bergambar kuda di ruang keluarga berhenti di angka tiga. Televisi tepat di bawah jam kuda sedang menyiarkan acara sahur. Ini dini hari.
"Sini dede ikut sahur," kini suara bunda yang mendekatiku.

Aku baru sadar, saat melihat ukuran tubuhku tak lebih dari satu kaki. Aku tersadar, aku masih berusia 1,5 tahun. ***


(1) Anakku yang cakap wajahnya
(2) Orang Belanda
(3) Mimpi ya anak ganteng. Sudah tidak apa-apa, tidur lagi

(4) Sudah

Comments

YOUTUBE