HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Pesan dari Depan Pintu Kakbah

Ketika pertama kali melangkahkan kakinya keluar dari pintu hotel, Sabtu (26/11), tujuan Asiah Tobib (58 tahun) adalah satu, memandang Baitullah. Sembari berjalan beriringan dengan ratusan jamaah umrah dari Jakarta lainnya, bibir Asiah basah karena melafazkan kalimat talbiah, mulai dari hotel hingga memasuki Masjidil Haram.

Ini adalah kali pertama Asiah menginjakan kaki di Tanah Suci. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah berhenti berharap menunggu panggilan Allah untuk melihat langsung Ka'bah. "Saya bahagia bener, impian saya melihat Ka'bah dengan mata langsung tercapai. Alhamdulillah ya Allah," kata Asiah sembari mengusap pipinya yang basah karena air mata.

Asiah bukan satu-satunya umat Muslim yang menangis saat melihat Ka'bah. Saya beberapa kali melihat dan mendengar tangisan umat Muslim di sekitar putaran tawaf. Bahkan ada jamaah dari Pakistan yang menangis sesegukan sembari bertawaf.

Pada Sabtu sore waktu Arab Saudi, putaran tawaf dipenuhi ratusan ribu umat Muslim dari berbagai negara yang melantunkan kalimat pengagungan kepada Allah. "Kalau sore biasanya putaran tawaf penuh sampai malam. Kalau siang relatif lebih sepi," kata Ustaz Ahmad Zakiudin, muthawif atau pembimbing umrah saya.

Putaran tawaf baru berhenti ketika ikomah shalat Maghrib dikumandangkan. Manusia berkulit hitam, putih, berbadan tinggi, pendek, gemuk, kurus, semua berdiri sejajar melingkari Kabah dalam satu komando menyembah Sang Maha Pengasih yang tak pernah pilih kasih, Allah.

Selepas shalat di putaran tawaf ketiga ketika tepat di depan pintu Ka'bah, saya ditegur bapak-bapak berbahasa Indonesia. "Mas, mau megang Hajar Aswad?"

"Ya mau lah, tapi terima kasih nanti saya coba sendiri saja," kata saya kepada bapak tersebut yang langsung ngeloyor pergi.

Saya langsung teringat pesan dari pembimbing saya jika banyak calo yang menawarkan jasa untuk memegang Hajar Aswad. "Tapi kita akan diminta membayar mahal," kata dia.

Hajar Aswad merupakan jenis batu ruby yang diyakini berasal dari surga. Hajar Aswad yang bermakna batu hitam adalah sebuah batu yang sangat dimuliakan umat Islam.

"Hajar Aswad merupakan sebagian dari batu surga. Di dunia ini tak ada yang dari surga selain dia. Pada asalnya, ia berwarna putih seputih air jernih. Seandainya tidak terkena najis kejahiliyahan, niscaya setiap orang berpenyakit kemudian memegangnya maka ia akan sembuh dari penyakitnya" (HR Thabrani melalui Ibnu Abbas ra). (Hadis No 228 Kitab Shahih Muslim).

Dari zaman para sahabat, jamaah haji sudah berebut untuk mencium Hajar Aswad. Ketika Salman Al-Farisi RA tengah berada di antara Zamzam dan maqam Ibrahim, dia melihat orang-orang berdesakan pada Hajar Aswad. Lalu dia bertanya kepada kawan-kawannya, ''Tahukah kalian, apakah ini?'' Mereka menjawab, ''Ya, ini adalah Hajar Aswad.''

Dia berkata, ''Ia berasal dari batu-batu surga. Dan demi Tuhan yang menggenggam jiwaku, ia akan dibangkitkan kelak dengan memiliki sepasang mata, satu lisan, dan dua buah bibir, untuk memberikan kesaksian bagi orang-orang yang pernah menyentuhnya secara hak (benar).''

Batu hitam ini berukuran sekitar 10 sentimeter dengan luas lingkaran pita peraknya sekitar 30 sentimeter. Tingginya dari lantai dasar Masjid al-Haram sekitar 1,5 meter.

Karena pernah dipukul, akibatnya Hajar Aswad pun pecah. Pecahannya berjumlah delapan buah dengan ukuran yang sangat kecil. Umat Islam yang ingin menciumnya, harus memasukkan kepalanya ke dalam lingkaran pita berwarna perak mengkilat.

Sayangnya, saat ini banyak umat Muslim yang rela menyakiti saudaranya untuk mencium Hajar Aswad. Berdesakan, saling sikut, saling dorong, bahkan rela membayar jasa calo untuk mencium Hajar Aswad. Mereka tidak lagi memperdulikan saudara Muslimnya yang mungkin tersakiti. Saya bahkan sempat melihat seorang Muslimah yang jilbabnya terbuka dan rambutnya terlihat di depan Ka'bah.

"Kalau tidak bisa mencium, gak usah dipaksakan. Apalagi sampai menyakiti," kata muthawif saya.

Saya jadi teringat perkataan sahabat yang mulia, Umar bin Al Khattab yang pernah mengecup Hajar Aswad. Kecintaannya kepada Rasulullah saw yang sangat besar membuatnya berusaha mengikuti seluruh sunnah, termasuk mencium Hajar Aswad. Meski begitu Umar tetap menjaga keimanannya dari kesyirikan.

"Demi Allah, aku tahu kamu hanyalah sebuah batu. Sekiranya aku tidak melihat sendiri Rasulullah SAW menciummu, pasti aku tak akan menciummu," kata Umar.

Ali bin Abi Thalib Ra meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Hurairah RA, ''Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya pada Hajar Aswad itu terdapat 70 malaikat tengah memohonkan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang Muslim dan mukmin dengan tangan-tangan mereka, seraya rukuk, sujud, dan bertawaf. Ia akan memberi kesaksian pada hari kiamat bagi siapa saja yang memegangnya dengan penuh keyakinan dan benar.''

Meski begitu, yang harus diperhatikan umat Islam, dengan berbagai kemuliaan Hajar Aswad kaum Muslimin diimbau tetap menjaga hati dan keimanan seperti Saidina Umar.

Comments

YOUTUBE