HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Darfur tak Lagi Hancur

Pemilu yang identik dengan pesta demokrasi tidak menyengat di Sudan. Republika bersama empat wartawan Indonesia lainnya berkesempatan mengunjungi Negeri Dua Nil tersebut untuk merasakan aroma dan suasana menjelang pemilu di Sudan. Berikut laporan wartawan Republika, Karta Raharja Ucu, langsung dari Sudan.

Sorotan sinar matahari masih garang menyengat pada Kamis (9/4) petang saat kami, lima wartawan Indonesia, termasuk Republika, menginjakkan kaki di Bandara El Fasher, ibu kota Provinsi Darfur Utara.

Aroma sisa peperangan dan konflik masih tercium ketika pesawat Badr Airlines yang kami tumpangi dari Kota Khartoum, Sudan, mendarat di wilayah yang sempat menjadi salah satu gelanggang perang saudara tersebut.

Puluhan polisi maupun tentara berpakaian sipil lengkap dengan senjata laras panjang menyambut kedatangan kami. Apalagi masih di lingkungan bandara, terparkir tiga pesawat jet tempur milik Sudan serta belasan pesawat dan helikopter milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di pintu gerbang, mobil lapis baja bersiaga dijaga tiga tentara. Atmosfer ketegangan langsung menusuk ketika kami dikawal menuju kantor gubernur Darfur Utara. Dalam perjalanan itu, mobil yang membawa rombongan kami dikawal dua pikap, di depan dan di belakang.

Masing-masing mobil pengawal diisi empat hingga lima aparat bersenjata. Hal yang membuat bergidik, moncong senapan mesin yang dibawa pengawal selalu mengarah ke mobil kami.

Belakangan berdasarkan keterangan seorang pejabat pemerintah di Darfur Utara, pengamanan terhadap kami yang datang sebagai tamu negara sudah menjadi standar operasi militer. "Untuk mengantisipasi jika ada serangan mendadak," kata Omar, salah seorang komandan tentara.

Jalanan beton yang diselimuti aspal terasa mulus tanpa ada cacat lubang saat dilewati, meski di sebagian wilayah masih ada jalanan berpasir dan belum tersentuh aspal.

Sejumlah bangunan, seperti sekolah, stasiun pengisian bahan bakar, universitas, rumah sakit, hingga kantor kehakiman kokoh berdiri. Pemandangan khas Afrika begitu mencolok. Beberapa orang terlihat menaiki keledai yang memanggul kayu bakar. Sebagian lainnya memanfaatkan keledai untuk menarik kereta yang membawa drum air. Sejumlah wanita juga terlihat membawa kayu di atas kepala.

Pemandangan miris kian terasa saat kami mengunjungi salah satu wilayah pengungsian berisi ratusan ribu pengungsi akibat perang saudara. Pemuka warga di kamp pengungsi Abou Shouk, Ibrahim al-Khalel, mengatakan, terdapat 74.500 warga dari 13 suku yang tinggal di tempat pengungsian tersebut. "Hampir 90 persen anak-anak dan perempuan," katanya saat menerima kami di salah satu bangunan kamp.

Tempat pengungsian itu berada di tengah gurun pasir. Ratusan bangunan dibangun permanen menggunakan bata meski atapnya masih menggunakan kain lusuh atau daun-daun kurma.

Kamp Abou Shouk itu dibiarkan terbuka tanpa pagar dan atap. Dengan begitu, cuaca yang bisa mencapai 48 derajat Celcius, ditambah debu yang beterbangan ditiup angin, menjadi pemandangan biasa di kamp tersebut. Ketua pengungsi Ahmed Atime Damelbitt mengatakan, mereka sudah menetap di kamp selama 11 tahun sejak 2004.

"Kami ingin kembali pulang," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai guru ini.

Salah seorang pengungsi, Hama, mengakui kamp pengungsian tersebut cukup bagus ketimbang kampung halamannya. "Rumah di sini sempit, jika dibandingkan rumah di desa kami. Tapi alhamdulillah, anak-anak bisa bersekolah di sini," ujarnya.

Konflik di Darfur sering dicitrakan berlatar belakang etnis. Namun, menurut Komisioner Badan Kemanusiaan Darfur Pemerintah Sudan, Ibrahim Ahmed, akar konflik di sana sangat kusut. Selain masalah ekonomi, anugerah kekayaan alam, seperti minyak dan pertambangan, juga menjadi alasan pecahnya konflik di sana. "Perebutan sumber penghidupan menjadi pemantik konflik suku-suku di sini," ujar Ibrahim.

Ibrahim yang menangani 285 ribu pengungsi yang terusir di negeri sendiri atau internally displaced person (IDP) di lima kamp pengungsian di Darfur itu menjelaskan, Pemerintah Sudan sebenarnya sudah berupaya menyuguhkan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Termasuk pendidikan dan kesehatan serta keamanan bagi para pengungsi IDP.

Setelah sempat bermalam, rombongan wartawan Indonesia berkesempatan bertemu Gubernur Darfur Utara, Osman Mohammed Yousif Kibir. Kepada kami ia berharap, kedatangan jurnalis Indonesia bisa menjadi penyeimbang berita-berita dari media-media Barat.

Sebab, selama ini Darfur selalu digambarkan sebagai wilayah konflik. "Situasi di Darfur saat ini berbeda dengan yang diberitakan secara berlebihan oleh media Barat. Dan, kondisinya saat ini berbeda dengan apa yang Anda dengar," ujarnya.

Ia merawikan, sekitar satu dekade lalu, tepatnya pada 2004, kejahatan merajalela saat konflik bersenjata antara pemberontak dan militer Sudan. "Kami tak mengatakan tidak ada masalah di sini. Tetapi, bisa dikatakan kehidupan di sini sudah membaik," ucap Osman.

Relatif membaiknya suasana di Darfur, menurut Osman, membuat jumlah anak-anak yang bersekolah meningkat. "Pemerintah memerangi pemberontak dan penjahat dan tidak ada lagi desa yang dikuasai pemberontak," katanya.

Bahkan, ia menjamin keamanan jika warga asing naik mobil dari Khartoum ke El Fasher.

Dikawal aparat bersenjata, kami berkesempatan menyaksikan aktivitas jual beli di pasar tradisional dekat kamp pengungsian. Berbagai macam keperluan dijual di pasar tersebut, termasuk makanan, sayuran, ternak, hingga pembuatan batu bata.

Sayang seribu sayang, waktu kami tidak cukup untuk bertemu personel Polri dari Formed Police Unit (FPU). Personel Polri ditugaskan sebagai bagian dari pasukan pemelihara perdamaian di bawah bendera PBB.

* Tulisan ini dimuat di halaman 1 Harian Republika, Selasa, 14 April 2015

Comments

YOUTUBE