"Jika ada yang cocok di hati, dan kau tak kuat melawan tikaman jarak,
terima saja lamarannya. Kamu tak perlu menanti. Tapi jika kamu sanggup
menahan derasnya aliran rindu, aku akan kembali untuk memenuhi janjiku."
"Saya
menunggu kamu Mas. Menunggu kamu menyelesaikan studimu dan datang
meminangku. Penuhi dulu janjimu kepada ibu, karena surgamu adalah ridho
ibumu, dan surgaku kelak adalah ridho dari suamiku."
Wajah
Hidayat dihujamkan ke lantai ruang tamu rumah Maemunah. Di ruang itu,
Mae yang terus menundukkan pandangan ditemani kakak laki-lakinya,
Ustman. Ia adalah sahabat baik Hidayat.
"Baik, kita akan
putuskan komunikasi. Biarkan rindu menjadi api pembakar helai-helai
ragu," Hidayat pamit pulang ke rumah ibunya yang berjarak tak kurang
dari 300 meter dari rumah peninggalan almarhum ayah dan ibu Mae.
Hidayat
pergi memenuhi janjinya untuk kuliah lagi ke kota Nabi. Ibunya tak
mengepalkan restu saat ia meminta izin melamar Mae, tetangga sekaligus
anak sahabat ibunya. Ibu Hidayat mengenal betul siapa Mae. Juara
olimpiade matematika, lulusan terbaik pesantren, sholehah, cendayam, dan
birrul walidain. Meski begitu, restu ibu tak turun sebelum janji
terpenuhi.
"Selesaikan dulu janjimu kepada ibu. Selesaikan S2-mu," kata ibu di mushala rumah usai mereka berdua menyelesaikan qiamulail.
Kuatnya
cinta Hidayat untuk ibunda, mengalahkan besarnya keinginan berumah
tangga. Ia pendam semua itu sementara, sembari mempertahankan harapan
agar tetap membara.
Hidayat berangkat, Maemunah menahan rindu
yang hebat. Tiga tahun berjarak tanpa komunikasi, demi menjaga agar hati
tak rusak ternodai. Hidayat emoh menjadi durjana. Mae enggan membuat
Tuhan murka. Keduanya bersabar, hingga studi Hidayat kelar.
Seringkali
pertemuan singkat melahirkan kerinduan yang begitu hebat, Hidayat
bergumam sebelum menelepon ibunya di bumi para raja.
"Bu,
Assalamualaikum. Alhamdulillah saya lulus. Janji kepada ibu sudah purna.
Insya Allah saya akan kembali ke Tanah Air akhir pekan ini."
Di
ujung sambungan telepon, kristal cair melarut di pipi keriput. Telepon
pintarnya diletakkan di sofa ruang tamu, lalu ibu pergi ke kamar untuk
bersalin pakaian.
Sepuluh menit usai Shalat Dzuhur, Hidayat
berganti memijit nomor telepon Ustman, kakak Mae. Satu kali, dua kali,
tiga kali sambungan tak terangkat. Perbedaan waktu empat jam membuat
Hidayat maklum. "Esok pagi saja saya telepon lagi."
Persiapan
pulang dan wisuda di kampus membuatnya larut dan lalai memberi kabar.
Hingga dalam perjalanan ke bandara untuk pulang, ia kembali mencoba
menghubungi Ustman. Kali ini tersambung.
"
Assalamualaikum Dab, piye kabarmu? Aku arep ngabari, sesok awan aku tekan kampung, tolong kabari Mae, aku arep menuhi janjiku." (1)
"Walaikumsalam,
Dab." Ustman hening sesaat. Menarik nafas, dan berkata hati-hati agar
konco kentel'e tak
shock mendengar kabar darinya.
"
Dab, maaf aku baru ngabari. Mae wingi sore wis ono sing mengkhitbah, dan de'e nerimo." (2)
Telinga
Hidayat berontak tak percaya. Hatinya mencoba mencerna aksara demi
aksara yang mematikan jiwanya. Ia tutup sambungan telepon tanpa salam.
Ia tutup wajahnya beralaskan telapak tangan. Ia malu untuk menangis,
tapi air matanya tak peduli dengan semua itu.
Ia sadar, tak ada
ikatan apa-apa antara dia dan Mae. Mencintai Mae adalah patah hati yang
disengaja. Mencintai adalah tentang keberanian. Menyatakan atau
merelakan. Ia sudah berucap kata, jika tak sanggup menanti, Mae
diizinkan menyerahkan hati kepada lain laki-laki.
Delapan jam
perjalanan di atas langit membuat hatinya berantakan seperti awan
Altocumulus yang dia lihat dari jendela burung baja. Ia juga tak bisa
menikmati perjalanan dari Bandara Kulonprogo ke Kutoarjo, kampungnya.
Sampai taksi daring yang ia sewa berhenti persis di depan pagar anyaman
baja. Pukul 11.03. Ditariknya koper merah yang resletingnya masih
tergembok.
Pintu pagar dibuka, pintu rumah diketuk, ucapan salam
dilafalkan. Hidayat melangkah masuk menggeret beratnya koper dan
jantung yang denyutnya tak lagi teratur.
Di ruang tamu rumahnya
ibu yang tinggal sendiri sedang duduk di sofa abu-abu ditemani dua orang
yang Hidayat kenal. Ustman dan makhluk yang Tuhan ciptakan ketika
sedang gembira, Maemunah. Ia duduk di sebelah kiri ibu.
Mata
keduanya bertumbukan dua detik, sebelum mereka menunduk. Hidayat
membetot paru-parunya agar bekerja lebih ekstra menyedot udara. Ia seka
air wajah yang berjam-jam diterpa kemurungan. Hidayat melangkah
mendekati ibu, menarik tangan kanan dan menghujami punggung jemari yang
kosong tanpa perhiasan dengan ciuman. Takzim. Hidayat lalu duduk di
sebelah kanan ibu. Mae di sebelah kiri. Ia tak berani menyapa, sampai
ibu buka suara.
"Ustman dan Mae yang membantu ibu menyiapkan makanan. Ada ayam ingkung kesukaanmu di meja makan. Mae yang memasak."
Hidayat
tak ragu mengucapkan terima kasih. Tapi ia masih tak berani melepaskan
senyuman ke wajah perempuan yang sedari kecil sudah dipuji ibu.
Ibu
selalu bilang, Mae adalah sosok perempuan yang ibu yakini bakal menjadi
istri penjaga kehormatan suami. Menantu yang menyayangi ibu, dan bunda
bagi penerus pejuang agama.
Perempuan yang menangis di depanmu
mungkin sangat mencintaimu. Namun, perempuan yang menangis dalam shalat
dan doanya karena mengharapkanmu, adalah yang paling pantas menjadi
pintu surga bagi anak-anakmu, wejangan ibu suatu petang di pengkolan
jalan desa saat dijemput Hidayat sepulang ia mengajar.
"Janjimu kepada ibu sudah terpenuhi. Dan ibu juga sudah melaksanakan ucap kata dengan sahabat ibu."
Hidayat
tak mampu mencerna sempurna kalimat yang ibu katakan sembari tersenyum.
Matanya sedari tadi sibuk memperhatikan jari manis tangan kiri Mae yang
dilingkari cicin emas berbatu safir warna biru. Ia memeras ingatan,
sampai ia menemukan jawaban. Cincin itu sama persis seperti cincin perak
pernikahan milik almarhum ayahnya yang ia simpan di kotak perhiasan
kamar tidurnya.
Keterangan:
(1) Assalamualaikum
Dab, bagaimana kabarmu? Aku mau mengabari, besok siang aku sampai
kampung, tolong kabari Mae, aku mau memenuhi janjiku.
(2) Dab, maaf aku baru mengabari. Mae kemarin sore sudah ada yang mengkhitbah, dan dia menerima.
Comments
Post a Comment