HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Pagari Anak-anakmu dari Jajanan 'Sampah'

Kesibukan di tempat kerja membuat banyak orang tua melupakan asupan gizi untuk buah hatinya. Tidak banyak ibu apalagi ayah di Indonesia, khususnya kota-kota megapolitan seperti DKI Jakarta, yang membawakan anak-anaknya bekal makanan untuk disantap di sekolah. Kebanyakan orang tua tidak mau repot dan menjadikan sangu atau uang jajan sebagai solusi kepada anak-anaknya.

Padahal, memberikan uang jajan berlebih, membuka peluang anak-anak untuk membeli jajanan di sekolah yang kebanyakan menggandung zat berbahaya bagi tubuh. Tengok saja survei dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Sepanjang 2013, 99 persen pelajar di Indonesia membeli jajan di sekolah. Artinya, hanya satu persen pelajar yang terbebas dari jeratan jajanan berbahaya di sekolah.

Fakta itu membawa ingatan saya meloncat puluhan tahun silam ketika masih menjadi pelajar. Saya pernah memergoki pedagang gorengan menggunakan minyak goreng bekas yang sudah berkali-kali dipakai. Bahkan warnanya sudah bermetaforsis dari kuning ke cokelat pekat.

Itu baru soal minyak goreng. Belum lagi bahan-bahan yang digunakan. Wakil Presiden Boediono pernah berkata bahan-bahan berbahaya yang ditemukan di sekolah-sekolah mengandung formalin, boraks, rhodamin, hingga bahan tambahan pangan, seperti siklamat dan benzoat yang melebihi batas aman, serta kualitas mikrobiologi yang buruk.

Risikonya tentu sangat besar meski efeknya tidak langsung dirasakan. Sebab, bahan-bahan itu akan terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang serius bagi generasi penerus bangsa.

Mengutip pernyataan Boediono, kemajuan bangsa ditentukan oleh berhasil tidaknya generasi sekarang membangun generasi muda yang lebih baik. Maka membangun generasi muda harus dilakukan sejak usia dini. Menurut saya, salah satu caranya dengan memagari anak-anak sekolah dari jajanan "sampah".

Namun, pada 2013 BPOM mencatat jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi syarat penyalahgunaan bahan berbahaya menurun. Meski begitu pekerjaan rumah pemerintah, sekolah, guru, dan orang tua belum berakhir.

Menjaga anak-anak dari gempuran jajanan berbahaya perlu dimulai dari ruang lingkup terkecil, yakni keluarga. Orang tua memiliki peran sangat besar memberikan pemahaman dan menyadarkan anak-anaknya dari bahaya jajanan sampah. Tapi tidak hanya memberikan pemahaman, orang tua juga sebaiknya tidak hanya memberikan uang sebagai bekal ke sekolah, tapi juga menyiapkan makanan yang aman dan bergizi buatan sendiri untuk dimakan di sekolah.

Tameng berikutnya tentu harus diberikan sekolah. Sekolah harus menjamin anak didiknya terbebas dari makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya. Selain ketat mengawasi mutu dan gizi pangan jajanan anak didiknya, sekolah juga diimbau lebih peduli dan ketat mengawasi para pedagang yang mangkal di sekolah mereka.

Banyak sekolah memang membuat aturan anak didiknya dilarang membeli makanan dari luar sekolah. Kantin sekolah wajib memonopoli penjualan makanan. Sayangnya, larangan itu lenyap ketika jam sekolah usai. Para penjual makanan terkadang memanfaatkan waktu pulang sekolah untuk menjajankan dagangannya kepada anak-anak.

Sebenarnya semua itu bisa terhindarkan jika orang tua, sekolah, dan guru memiliki kepedulian, komitmen, dan mau bersinergi dengan pemerintah dalam membendung gempuran jajanan sampah tersebut. Tujuannya hanya satu, agar generasi mendatang memiliki tubuh yang kuat dan jiwa yang sehat, seperti kata pepatah Mens sana in corpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

Comments

YOUTUBE