
Ahlan wa sahlan AC Milan. Selamat datang (kembali) ke
kompetisi kasta tertinggi di Eropa, Liga Champions. Kemenangan dua gol
tanpa balas atas Atalanta pada laga pamungkas membuat Milan mendapatkan
tambahan tiga poin dan mengantarkan I Rossoneri finis sebagai runner-up Liga Italia Serie A musim 2020/2021 di bawah sang juara, Inter Milan.
Meski finis sebagai runner-up,
sejatinya Milan lolos dari lubang jarum. Sebab, kepastian tiket Liga
Champions baru didapat pada akhir musim, setelah sang adik, Inter,
memastikan gelar scudetto pada pekan ke-34. Padahal, Milan
sempat tak tersentuh di puncak klasemen selama paruh musim. Namun,
inkonsistensi membuat Milan sempat terjerembap ke posisi lima alias
keluar dari zona Liga Champions.
Hasil ini bisa dibilang di luar
ekspektasi para Milanisti. Bayangkan saja, Milan di atas kertas yang
seharusnya bisa bisa menang dari Cagliari pada pekan ke-37 malah
membuang kesempatan mengunci tiket Liga Champions sekaligus membuat Juventus berpeluang bermain di Liga Eropa.
Harapan
itu membubung tinggi setelah pada pekan sebelumnya Milan tampil ganas
dengan membumihanguskan Stadion Olimpiade Torino, markas saudara sekota
Juventus, Torino, dengan skor meyakinkan, 7-0. Milan pun divonis sudah game over karena secara
matematika bakal kesulitan menang dari Atalanta di pekan terakhir. Di
atas kertas, Milan kalah jika melihat statistik beberapa pertandingan
terakhir. Namun, di atas rumput semua bisa berubah.
Sepak bola bukan matematika. Bagi Milanisti, sepak bola adalah
matehatika, yang bermakna mencintai Milan bukan sekadar hitung-hitungan
angka, tetapi hitungan hati. Lolos atau tidak Milan ke Liga Champions,
Milanisti akan tetap menjadi Milanisti. Fan Milan yang menghujat
dipastikan hanya kecewa, tetapi tidak membenci.
Seperti dunia
tahu, Milan lolos ke Liga Champions setelah absen selama tujuh tahun.
Klub yang memiliki DNA Champions ini kembali ke habitatnya, bermain
dengan klub-klub ganas Eropa. Milan divonis sudah game over dan
dinilai tidak layak bermain di Liga Champions. Namun, takdir berkata
lain. Milan ternyata mampu menuntaskan misi pada awal musim, finis di
empat besar, meski peluang juara terlepas.
Milan kini akan
mewakili Italia bersama Inter, Atalanta, dan Juventus bermain di Liga
Champions musim depan. Sayangnya, Milan bisa jadi hanya menjadi
bulan-bulanan jika tidak segera berbenah. Catat alasannya. Milan
kemungkinan akan kehilangan sejumlah gladiatornya yang bermain luar
biasa pada musim ini.
Sebut saja Mario Mandzukic yang kemungkinan
dilepas bebas transfer karena minim kontribusi, kiper Antonio
Donnarumma, atau Samu Castillejo. Belum lagi tiga pemain pinjaman, yakni
Braim Diaz, Diogo Dalot, dan Soualiho Meite. Dalot kembali ke MU, Meite
balik ke Torino, Diaz yang bermain luar biasa kemungkinan ditarik
kembali oleh Real Madrid. Satu lagi pemain pinjaman yang bermain ciamik
musim ini, Fikayo Tomori. Milan wajib mempermanenkannya dari Chelsea
jika lini belakangnya ingin tetap kokoh seperti sekarang.
Dan, tentu saja dua pemain yang paling menyita pemberitaan dan emosi para Milanisti, Gianluigi Donnarumma dan
Hakan Calhanoglu. Kedua pemain yang kontraknya habis pada 30 Juni
mendatang santer bakal angkat kaki dari San Siro secara gratis.
Alasannya, perpanjangan kontrak keduanya belum menemui titik temu.
Alasannya, apalagi kalau bukan soal gaji yang diminta terlampau tinggi.
Hakan meminta gaji 6 juta euro per musim. Sebelumnya, playmaker
berdarah Turki itu bergaji 2,5 juta euro. Milan yang hanya mau
menaikkan gajinya menjadi 4 juta euro disebut akan kehilangan Hakan
disebut akan berganti jersey usai mendapatkan penawaran gaji 8 juta euro dari klub Qatar. Kemungkinan besar Hakan akan pergi.
Sementara, Donnarumma lebih gila lagi. Ya memang, peran Donnarumma amat
sangat vital di bawah mistar. Dia nyaris tak tersentuh, kecuali saat
cedera atau diistirahatkan untuk laga penting. Agennya, Mino Raiola,
meminta kompensasi 20 juta euro jika ingin Donnarumma bertahan disertai
permintaan gaji 10 juta euro. Gaji yang amat sangat tinggi untuk ukuran
pemain yang belum baru memberikan satu gelar, Super Coppa Italia.
Donnarumma
sejatinya adalah produk asli akademi Milan. Saat usianya masih 16
tahun, ia dipromosikan Sinisa Mihajlovic yang pernah menukangi Milan.
Kariernya melesat berkat penampilannya yang hebat. Namun, kecintaan
Donnarumma kepada Milan dipertanyakan. Alasannya, apalagi jika bukan
permintaannya yang selangit setiap mau memperpanjang kontrak.
Sang agen menawarkan Donnarumma ke sejumlah klub Eropa. Banyak yang
tertarik, apalagi dengan status gratis dan kualitas yang luar biasa,
kiper 22 tahun itu bisa menjadi aset klub pada masa depan. Juventus
adalah satu dari sederet klub Eropa yang mengincar jasa Donnarumma.
Namun, jika Donnarumma jadi pindah ke Juventus (apalagi karena tawaran
gaji 10 juta euro per musim), itu akan menjadi pengkhianatan terbesar
sepanjang sejarah Serie A.
Donnarumma dan Hakan perlu belajar dari banyak legenda Milan yang
mencintai klub ketika sudah bergabung. Baresi, Costacurta, hingga
Maldini, adalah sederet produk akademi Milan yang setia hingga akhir
karier tanpa meributkan soal gaji.
Baresi, Costacurta, dan Maldini yang sudah menyumbangkan banyak gelar
berkat puluhan tahun mengabdi di Milan, memilih pensiun di San Siro. Tak
pernah terdengar ketiga maskot Milan ini merengek kenaikan gaji.
"Begitu Milan mengalir melalui nadimu, itu akan mengalir selamanya
dalam darahmu". Pernyataan tentang bagaimana cara mencintai Milan itu
keluar dari seorang salah satu maestro lapangan tengah dunia, Rui Costa.
Playmaker yang pindah dari Fiorentina itu amat sangat
mencintai Milan, dan perkataan Rui Costa bisa menjadi tamparan para
pemain yang tidak mencintai Milan demi nama uang.
Atau kita bisa
belajar dari kisah Ricardo Kaka yang rela menjual jiwanya untuk Milan.
Kaka yang mengalami karier luar biasa bersama Milan, setuju dijual pada
2009 ke Real Madrid untuk menyelamatkan Il Diavolo Rosso dari
kebangkrutan. Kecintaan Kaka tak hanya sekadar basa-basi seperti mencium
lambang klub. Kaka membuktikannya dengan enggan menerima gaji ketika
sedang cedera.
Donnarumma dan Hakan rasanya perlu mengikuti jalan
para legenda Milan. Apalagi, Milan yang dipastikan bermain di Liga
Champions musim depan bisa menjadi alasan kuat keduanya lebih lama
membela panji pemilik gelar juara Eropa di Italia tersebut. Itu pun jika
keduanya memiliki kecintaan dan kebanggan berseragam merah hitam.
Namun,
Milan juga perlu berbenah. Jika tidak bisa mempertahankan pemain
bintangnya, baik karena alotnya transfer atau ditarik kembali oleh
klubnya, Milan wajib belanja pemain. Milan tak bisa terus menerus
berharap pada ketajaman Sang Dewa Zlatan Ibrahimovic di lini serang.
Apalagi, mereka bakal menghadapi jawara-jawara liga-liga elite Eropa,
sementara Milan minim mesin gol ditambah Ibra yang sudah menua dan
diganggu cedera.
Milan juga perlu memperhatikan regenerasi dan promosi para pemain dari
akademi sendiri. Sebut saja Daniel Maldini yang tidak banyak diberikan
kesempatan bermain. Jangan sampai Milan kembali merasakan keguncangan
pascapensiunnya sejumlah bintang secara bersamaan pada musim 2009.
Sehingga diharapkan Milan yang memiliki tujuh gelar Liga Champions itu
mampu berbulan madu lebih lama tahun ini setelah tujuh tahun absen di
Liga Champions.
Milan perlu penyerang seperti Shevchenko, Inzaghi, atau sang supersub,
Gilardino. Milan perlu pengatur ritme seperti Pirlo, perusak irama
permainan lawan layaknya Gattuso, magicians setara Kaka, atau tembok baja seperti Maldini dan Nesta.
Atau seperti harapan para Milanisti yang bermimpi Milan kembali menjadi The Dream Team
yang diisi pemain-pemain bintang, mulai dari Donadoni, Baresi,
Tassotti, Boban, Bierhoff, Savićević, hingga trio Belanda yang
melegenda, Marco van Basten, Frank Rijkaard, dan Ruud Gullit.
Pada
akhirnya, seperti halnya setiap Muslim yang mencintai Palestina, bagi
para Milanisti, mencintai Milan bukan memakai hitungan angka dalam
matematika, tetapi hitungan matehatika. Ahlan wa sahlan Milan. Forza Milan. Selamat berjuang.
Tulisan ini juga bisa dibaca di Republika.co.id.
Comments
Post a Comment