Celebi
baru saja hendak menutup toko bunga miliknya di pinggir jalan dekat
taman kota. Satu vas dengan beberapa tangkai bunga dipegangnya karena
hendak dibawa pulang ke rumah. Sore itu selepas Shalat Ashar,
sayup-sayup suara orang mengaji terdengar dari pengeras suara masjid di
seberang tokonya. Ramadhan memasuki hari terakhir. Esok, Lebaran
menyapa.

Sore itu, Celebi ditegur seorang anak berusia sekitar 10
tahun. Tubuhnya kurus dengan rambut cepat dan pipi tirus. Anak itu
memakai kaus merah yang sudah pudar warnanya. Belel kerahnya. Sementara
celana panjangnya tak jauh berbeda nasib dengan kaus yang dipakai.
Lusuh.
"Mas, masih bisa saya membeli bunga?" anak itu hati-hati menegur Celebi yang sedang menarik pintu toko.
Celebi melihat sekilas, lalu meneruskan aktivitasnya menutup pintu toko lalu mengunci dan menggemboknya. "Mau bunga apa dik?"
"Apa saja Mas. Untuk ibu saya," suara anak itu parau. Jemari tangan kanannya memegang ujung kaus.
"Owh,
kalau buat ibu, bunga ini saja," Celebi memberikan tiga tangkai bunga
krisan. Dua berwarna kuning, satu berwarna putih. Masih segar, belum ada
yang layu.
"Kalau ini berapa harganya, Mas?"
"Itu sepuluh ribu saja dik."
Tangan
kiri anak itu menggenggam bunga yang diberikan Celebi. Tangan kanannya
lalu merogoh kantong celana. Ia hanya menemukan dua lembar uang seribu
rupiah dan satu lembar dua ribu rupiah. Tak cukup.
Celebi melihat
sekilas kegelisahan anak itu, lalu ia tersenyum. "Tak apa dik, sudah
itu buat adik saja. Mas juga sudah mau menutup toko, mau pulang ke rumah
karena besok sudah Lebaran."
"Benar Mas? Wah terima kasih," ujung bibir anak itu tertarik. Ada senyum kebahagiaan di sana. Matanya berbinar gembira.
"Rumahmu di mana, dik?" kini Celebi yang sudah rampung dengan urusan toko membalikkan badan.
"Di Desa Gumitir, Mas. Di dekat persawahan."
"Kamu mau pulang
kan? Mari pulang
bareng Mas. Mas juga lewat ke arah sana."
Celebi mengajak anak itu naik ke dalam
city car
warna merahnya. Vas bunga yang hendak dibawa pulang diletakkan di
bangku belakang. Di dalam mobil, anak itu yang duduk di kursi penumpang
depan lebih banyak diam. Beberapa pertanyaan yang diberikan Celebi tak
dijawab dengan banyak patah kata.
"Bapak kamu kerja apa dik?"
Anak itu diam. Wajahnya terus melihat ke arah luar jendela.
"Ibu kamu pasti senang diberikan hadiah bunga. Kamu anak yang baik."
Mobil
terus mengaspal melintasi jalan perbatasan kota dengan persawahan.
Ketika sampai di sebuah kompleks pemakaman, anak itu meminta mobil
diberhentikan. Jarak dari toko bunga Celebi dengan kompleks perumahan
abadi itu hanya sekitar 3,5 kilometer.
"Mas tolong berhenti di
sini. Ibu saya ada di dalam," anak itu menunjuk ke arah pemakaman. Ia
turun dari mobil, sebelum mengucapkan terima kasih dan mencium tangan
Celebi.
Celebi di balik kemudi hanya bisa diam. Sekeping hatinya
remuk. Ia lalu keluar dan menghampiri anak itu sambil berlari kemudian
memeluknya. "Sabar ya dik. Sabar. Kamu anak sholeh, doakan ibumu
mendapatkan surga."
Celebi lalu merogoh kantong kaus berkerahnya.
Ada Rp 50 ribu di sana. "Ini Mas punya sedikit uang untuk kamu jajan
ya," kata Celebi, "kamu yang sabar ya. Mas pulang dulu."
Anak itu bertambah senyum. Ia mengangguk lalu pergi berjalan ke dalam kompleks pemakaman.
Celebi
mendekati mobilnya. Melihat layar ponselnya, mencari foto ibunya. "Bu,
maaf aku jarang menegok ibu. Hari ini aku akan datang."
Laki-laki
yang memelihara jenggot dan kumis itu lalu masuk ke dalam mobil. Ia
mengurungkan niat kembali ke rumah. Kini ia mengendarai mobilnya menuju
sebuah rumah di seberang kota. Rumah orang tuanya. Saat jalanan lenggang
menjelang Lebaran seperti sekarang, hanya butuh waktu sekitar 20 menit
untuk sampai ke rumah orang tuanya dari tempatnya bertemu anak pembeli
bunga.
Mobil memasuki halaman rumah orang tuanya. Rumah joglo
dengan pekarangan seukuran lapangan bulu tangkis dan ditanami beberapa
pohon sawo, mangga, serta kelapa. Mobil Celebi diparkir di samping
pekarangan. Ia turun, membawa satu vas yang berisi beberapa tangkai
bunga. Termasuk bunga sedap malam, bunga favorit ibunya.
Celebi
tak langsung masuk ke dalam rumah. Ia melangkahkan kakinya ke halaman
samping rumah. Ia mendekati pendopo bertiang kayu jati, di sana orang
tuanya berada. Di bawah naungan pendopo Celebi mendekati orang tuanya.
Melepas sepatu, lalu mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, bu, pak.
Celebi pulang," kata Celebi sembari mengelus dua buah nisan yang
tertancap di atas tanah makam kedua orang tuanya.
***
Puluhan
kilometer dari tempat Celebi berdiri, anak pembeli bunga sedang
bercanda dengan adiknya di teras sebuah rumah yang menyatu dengan
kompleks pemakaman. Mereka bermain mengumpulkan kembang kamboja lalu
merangkainya.
Sementara tiga tangkai bunga krisan yang didapatkan
anak itu dari Celebi kini digenggam seorang perempuan yang sore itu
memakai kain batik dan baju lurik. Perempuan berkulit cokelat dengan
hidung bangir itu duduk di sebuah kursi kayu sembari melihat kedua
anaknya. Suami perempuan itu sudah lama tak pulang setelah merantau ke
Kalimantan 5 tahun lalu.
"Parjo, terima kasih sudah memberikan ibu bunga."
Anaknya
itu tersenyum. Ia senang bunga yang dihadiahi Celebi ternyata mampu
mengembalikan senyum ibunya yang telah lama hilang. "Ini bu, untuk beli
ayam dan ketupat. Ini hadiah dari Mas penjual bunga," Parjo memberikan
uang dari Celebi kepada ibunya.
Comments
Post a Comment