Nyi Mas Pakungwati Ratna Kemuning, salah satu istri
Sunan Gunung Jati meninggal
dunia karena terkena suatu penyakit misterius di Cirebon pada abad
ke-15. Tak hanya merenggut nyawa Nyi Mas Pakungwati wabah itu juga
menyerang sejumlah warga Cirebon di sekitar keraton. Beberapa upaya
dilakukan untuk menghilangkan wabah tersebut, tetapi hasilnya selalu
berujung kegagalan. Akibatnya banyak rakyat Cirebon yang meninggal dan
jatuh sakit.
Setelah berdoa kepada Allah, Syekh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati mendapatkan petunjuk bahwa wabah di
tanah Caruban atau Cirebon tersebut akan hilang dengan cara
mengumandangkan azan yang dilantunkan tujuh orang sekaligus. Sunan
Gunung Jati akhirnya berikhtiar dengan bertitah kepada tujuh orang agar
mengumandangkan azan di
Masjid Agung Sang Cipta Rasa sebagai upaya menghilangkan wabah tersebut.
Dalam salah satu babad Cirebon, wabah penyakit di Cirebon datang
karena kiriman dari seorang pendekar ilmu hitam, Menjangan Wulung yang
sering berdiam diri di momolo (kubah) masjid. Ketidaksukaannya terhadap
syiar Islam di Cirebon membuatnya menyebarkan wabah dan setiap muazin
yang melantunkan azan mendapatkan serangan hingga meninggal.
Dalam
salah satu versi, babad Cirebon tulisan Pangeran Sulaeman
Sulendraningrat, saat Sunan Gunung Jati memberikan titah tujuh orang
sekaligus melantunkan azan ketika waktu Subuh, suara ledakan dahsyat
terdengar dari bagian kubah Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun
pada 1480 Masehi. Ledakan itu membuat Menjangan Wulung yang berdiam diri
di kubah masjid terluka. Bahkan tubuhnya hingga terpental dan darahnya
berceceran di area masjid. Namun, salah satu pengumandang
azan pitu dikabarkan juga meninggal dunia karena ledakan tersebut.
Sementara
kubah Masjid Agung Sang Cipta Rasa terpental hingga ke Banten dan
menumpuk di kubah Masjid Agung Serang Banten. Karena itu, hingga kini
Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak memiliki kubah, sementara Masjid
Agung Serang Banten memiliki dua kubah.
Kisah tewasnya Menjangan Wulung menjadi legenda di masyarakat
Cirebon. Darah Menjangan yang berceceran karena ledakan disebut menetes
di tanaman labu hitam, atau warga Cirebon biasa menyebutnya
wolu ireng yang dinilai beracun dan tak layak dimakan. Karena itu, memakan
walu ireng adalah pantangan bagi anak, cucu, dan keturunan orang Cirebon.
Seperti
halnya sejarah tuturan yang diceritakan dari orang tua ke anaknya. Azan
pitu juga memiliki versi berbeda. Dalam versi babad lain, asal muasal
azan tujuh adalah karena atap Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang saat itu
masih beratap rumbia terbakar. Berbagai upaya dilakukan untuk
memadamkan api, tetapi selalu gagal.
Nyi Mas Pakungwati Ratna Kuning, putri Tumenggung Cirebon Pangeran
Cakrabuana (Pangeran Walangsungsang), istri Sunan Gunung Jati yang
dinikahi pada 1478 Masehi, memberikan saran kepada suami agar
mengumandangkan azan. Namun saat azan dilantunkan oleh satu hingga enam
orang, api tak kunjung padam. Baru setelah tujuh orang melantunkan azan
bersamaan, si jago merah mulai jinak dan mati.
Kini azan pitu
terus dilestarikan oleh Pemerintah Kota Cirebon dan Keraton Kasepuhan.
Tradisi azan pitu dilakukan setiap Shalat Jumat di Masjid Agung Sang
Cipta Rasa.
Dibangun dalam Satu Malam
Namun, dalam versi lain azan pitu adalah representasi dari beragamnya
mahzab di Cirebon. Kemajemukan mahzab dan budaya serta agama di Cirebon
saat itu tergambarkan dalam bentuk bangunan Masjid Agung Sang Cipta
Rasa.
Masjid berwarna merah itu memiliki dua pintu masuk. Salah
satu gerbangnya memiliki dua daun pintu, di mana masing-masing daun
pintu terdapat hiasan motif teratai. Simbol itu menandakan akulturasi
budaya Hindu-Budha yang saat itu masih berkembang di tanah Caruban.
Di atas gerbangnya terdapat tulisan arab. Di ruang utama yang diberi
nama "Narpati" terhampar ruang shalat dengan atap masjid yang disangga
kayu-kayu jati berusia ratusan tahun.
Masjid yang konon dibangun hanya dalam satu malam itu berbeda dengan
masjid-masjid di Indonesia yang lazimnya menggunakan bahasa Arab. Nama
masjid diambil dari kata “sang” yang bermakna keagungan, “cipta” yang
berarti dibangun, dan “rasa” yang artinya digunakan.
Masjid itu dibangun pada 1480 Masehi ini atau bersamaan dengan masa
penyebaran Islam di Pulau Jawa oleh Wali Songo. Sunan Gunung Jadi
dirawikan mempekerjakan arsitek kenamaan dari Majapahit, Raden Sepat
untuk membangun masjid tersebut.
Saat itu Raden Sepat menjadi tawanan perang Demak-Majapahit. Sekitar
500 orang pekerja dari Majapahit, Demak, dan Cirebon diceritakan ikut
terlibat dalam pembangunan masjid.
Foto: Dokumentasi
Republika.co.id
Comments
Post a Comment