HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Secangkir Cinta untuk Istriku



SORE ITU hujan mulai reda, gerimis pun tiada. Matahari mulai berusaha menyibak awan pekat yang menjadi kelambu. Di sudut langit, tujuh warna pelangi menghiasi langit biru bersepuh orange, dan ungu. Langit perlahan kembali berwarna, kembali menyapa manusia setelah dikurung hujan dan awan hitam selama empat jam.

Sengaja hari ini Hanif tidak membuka kedai baksonya. Kios pakaian muslim istrinya pun ditutup. Seharian mereka berdua hanya di dalam rumah sederhana tipe 21; 8x15 meter. Menikmati hari Kamis yang memang mereka janjikan untuk bermesraan. Meski rumahnya kecil, orang bijak mengatakan ukuran rumah yang luas sesungguhnya diukur dari seberapa luas hati penghuninya.


Ya, rumah yang Hanif beli setelah satu tahun menikah memang tidak terlalu luas, namun bagi Hanif itu adalah nikmat yang tak ada tandingnya. Menurut Pria 27 tahun ini, bila manusia selalu melihat ke atas, tak akan ada habisnya. Malah akan terjerumus ke jurang kufur nikmat.


Seperti biasa, setiap Kamis sore ba'da Solat Ashar berjamaah, Hanif dan istrinya, Yayah menghabiskan waktu berdua di teras rumah untuk sekedar bercengkrama. Yayah, duduk menyilangkan kakinya di atas bangku yang terbuat dari anyaman bambu dan rotan di teras lebih dulu. Ia mengenakan dres panjang biru, dengan jilbab putih berenda bersulam bungan melati. Wajahnya teduh, anggun meski sederhana. Pipinya tambun, bulu matanya lentik, matanya bening, hidungnya imut dan bibirnya tipis. Kulitnya cokelat khas wanita jawa tengah, namun bersih. Yayah begitu ranum merekah.


Wanita 25 tahun itu sibuk memandang dunia yang terdiri dari akumulasi sejarah. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, cakrawala begitu elok menjelma di sore hari. Di tepi langit, di tepi bumi, Yayah seperti biasa menikmati cakrawala yang menjelang senja dengan sapuan warna violet. Sementara Hanif sedang membuat teh di dapur. Dua cangkir teh. Dan menghangatkan beberapa pisang goreng yang dibuat istrinya tadi siang, sambil mendendangkan syair cinta.


"Aku ingin kamu menjadi tulang rusukku, penyempurna agamaku…

Akan aku hidangkan secangkir cinta dengan sepotong kudapan kerinduan
Dan akan ku bawa kamu ke singgasana ratu dan raja"

Hari ini Hanif ingin memanjakan istrinya. Ia tahu selama ini istrinya tak pernah mengeluh diajak hidup sederhana meski ia tumbuh dari kalangan berada. Karena itu, Hanif tak pernah berfikir meng-korupsi cinta yang dimilikinya untuk wanita lain. Karena ia sadar cinta tulus itu tak perlu mengambil cinta dari orang lain untuk diberikan kepada yang lainnya.


Bagaimana ia bisa memberikan tempat bagi perempuan lain, pikirnya, setelah hatinya telah luber dibanjiri cinta yang istrinya berikan. Hanif bahkan merasa tak mampu lagi menampung cinta yang begitu deras dari sang istri. Jadi mau diletakkan dimana lagi cinta dari wanita lain itu.


Hanif teringat, seorang teman kuliahnya pernah datang ke rumahnya untuk meminta nasehat setelah baru dimarahi istrinya. Namun temannya urung setelah melihat dan mendengar bahwa saat itu Yayah juga tengah merajuk dengan Hanif, dan ia melihat Hanif pun diam saja tanpa memberikan perlawanan. Senasib!


“Gue kesini sebenarnya pengen minta nasehat loe. Tentang istri gue yang sering ngomel di rumah. Tapi ngeliat dan denger loe diomelin juga, kayaknya gue salah alamat deh,” kata temannya.


Hanif tersenyum mendengar alasan temannya yang bernama Agung.


“Gung gimana bisa gue marah sama istri gue. Bukannya gue takut sama istri, tapi gue coba memahami dia," ujar Hanif yang berdarah Sunda-Jawa ini.


"Yayah itu hampir tiap hari kerja, tapi masih aja sempet masak, nyuci piring, nyuci baju, jemurin, nyapu, ngepel, beres-beres rumah meski gue yakin dia capek. Apa pantes gue marah sama istri yang udah mengabdi sepenuh hati begitu,” terang Hanif sederhana, yang disambut ucapan terima kasih Agung, karena dia paham selama ini ego suami selalu dia kedepankan.


Hanif beranjak ke teras dengan membawa dua cangkir warna putih berisi teh panas dengan dua kuntum bunga melati didalamnya, plus pisang goreng yang dia hangatkan dengan nampan berwarna cokelat terbuat dari anyaman bambu.


“Dik ini mas buatkan teh,” ujar Hanif seraya memberikan secangkir teh.


“Terima kasih mas, pinarak sini mas,” jawab Yayah dengan santun.


Hanif duduk di samping Yayah. Sementara pisang gorengnya dia letakan diatas meja bambu di samping istrinya.


“Mas aku boleh tanya, menurut mas buat apa manusia itu korupsi?,” ujar Yayah sambil memandang Hanif.


Hanif tersenyum. Baru kali ini ia mendapat pertanyaan dari istrinya tentang krisis moral yang sedang terjadi di Indonesia.


“Menurut mas, korupsi itu sebagai refleksi matinya hati seseorang,” jawab Hanif.


“Jadi di Indonesia sudah banyak manusia yang hatinya mati?”


Hanif mengangguk.


“Hmmm....Barangkali iya. Almarhum mantan presiden Adam Malik pernah bilang ‘Jangankan manusia, malaikat pun kalau ditugaskan di Indonesia akan korupsi’, jadi gak salah ucapan Adam Malik bila kita lihat fenomena yang terjadi sekarang di Indonesia,” pungkas Hanif sambil tersenyum. Dia senang istrinya yang tak hanya cantik ternyata masih menyisakan kepintarannya sewaktu kuliah dulu.


“Kalo mas ada kesempatan buat korupsi gimana, contohnya korupsi dagangan mas?”


“Wah mas gak berani-lah, memangnya kamu mau, mas kasih nafkah dari hasil mencuri?”


“Yo en’dak lah mas…”


Yayah menyerumput tehnya, dan mengambil sepotong pisang goreng.


“Terus menurut mas kenapa umat muslim di Indonesia gak bisa bersatu?” lagi-lagi pertanyaan menarik keluar dari bibir mungilnya.


“Umat itu mengikuti bagaimana imam-nya. Kebanyakan imam (pemimpin) di Indonesia lebih senang menjadi imam di mushola dari pada jadi makmum di masjid, meskipun tidak semuanya begitu. Mereka lebih senang jadi kepala ikan teri daripada jadi ekor singa,” terang Hanif.


“Jadi percuma dunk mereka koar-koar tentang pentingnya ukhuwah islamiah trus pentingnya menjaga silaturahim?”


“Ya seperti itu lah. Kalo umat ini mau maju, pemimpinnya ya harus bisa legowo. Gak mentingin ego semata, tapi tawadhu dan menerima kalo ada yang lebih baik untuk menjadi pemimpin.”


Hanif menyerumput teh yang mulai menghangat. Tak lagi panas. Dan menggigit pisang goreng pertamanya.


“Dik kamu tahu gak dulu pandangan mas tentang wanita itu seperti apa?”


Yayah yang sedang sibuk mengunyah hanya mengangkat bahu.


“Menurut mas, wanita itu bagaikan lampu petromaks di tengah kegelapan malam yang menggoda. Laron-laron akan mendatanginya, hingga laron itu kehilangan sayapnya,” tutur Hanif.


“Berarti wanita itu perusak dunk mas?” tuntut Yayah, sedikit tidak terima kaumnya dihina.


“Bukan begitu Dik, wanita yang mana dan laki-laki yang mana dulu yang mas maksud. Laron-laron yang tidak memiliki kesiapan (iman) untuk mendekati petromaks pasti akan binasa, sehingga bukan sepenuhnya salah wanita bila laki-laki binasa. Meski wanita juga punya andil di dalamnya.


“Cahaya petromaks itu adalah aurat yang seharusnya ditutup, bukan malah diumbar. Cahaya itu seharusnya hanya menerangi mata hati laki-laki yang halal untuknya,” jelas Hanif.


Matahari karam di balik siluet gedung bertingkat. Bilal abad 21 memanggil membelah langit, azan Mahgrib sambung menyambung di langit Jakarta, dari satu surau ke surau lainnya. Teh dan pisang goreng telah ludes.


“Mas kita Salat Maghrib dulu yuk, habis itu kita ngaji sampe Isya,” ajak Yahya.


“Terus habis Salat Isya kita ngapain?” pancing Hanif.


“Habis itu aku mau ngajak mas ikhtiar bikin cucu untuk ibu. Katanya ibu udah gak sabar nimang cucu dari kita,” jawab Yayah tersenyum lalu mengapit mesra tangan Hanif dengan tangan kanannya. Sementara Hanif merapikan sisa cangkir dan piring bekas pisang dan membawanya ke dalam rumah.


Istriku,

Kecantikanmu bukan kiasan. Bukan pula imitasi hiasan.
Biarkan aku menyentuh suteramu, akan aku muliakan dirimu

Istriku,

Biarkan aku hisap madumu
Jangan tutup kuncup-kuncup hatimu

Istriku,

Malam ini biarkan kita serupa Yusuf-Zulaikha
Biarkan kita satu urat, biarkan kita satu zat

Istriku,

Malam ini, mari kita tunaikan sunah rasul terkasih
Hingga pagi, menyapa bumi…

-- 6 Oktober 2009, saat Jakarta dilimpahkan rezeki hujan.

Comments

YOUTUBE