HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Begal Motor di Negeri Koruptor

Satu dekade lalu, sekitar 2005 saya pernah menjadi korban penjambretan saat sedang mengendarai sepeda motor. Lokasi kejadian di dekat underpass Pasar Gembrong, Jakarta Timur.

Saat itu, teman saya yang duduk di kursi penumpang tiba-tiba menjerit lantara tasnya yang diletakkan di tengah-tengah antara saya dan dia duduk, ditarik paksa. Motor saya dan si penjambret yang berjumlah dua orang sempat bersenggolan.

Tapi apa lacur, mereka lebih cekatan dan langsung membawa lari tas berisi dompet dan telepon genggam. Padahal saat itu saya sempat berteriak, tapi tidak ada seorang pengendara pun yang bergerak mengejar penjambret tersebut.

Pengalaman saya itu menggambarkan bahwa empati dan sikap menolong warga Jakarta saat ini sudah tergerus. Menurut saya, banyak hal yang mengubah sikap warga Jakarta menjadi lebih individualistis.

Di antaranya faktor ekonomi, kurangnya interaksi sosial, hedonisme, dan yang terpenting runtuhnya wibawa aparat penegak hukum di mata penjahat. Semua itu melahirkan manusia-manusia masa bodo terhadap orang lain.

Wibawa aparat penegak hukum, khususnya polisi, di mata masyarakat kini sudah berada di titik nadir. Tidak sedikit masyarakat yang tak lagi percaya kepada polisi. Oknum-oknum polisi justru kerap menjadi 'preman berseragam' yang lebih menakutkan ketimbang para penjahat.

Tengok saja berapa banyak pengendara motor dan mobil, yang terpaksa mengeluarkan 'uang damai' saat berada di bawah ancaman surat tilang. Istilahnya 86.

Faktor lainnya yang menurut saya cukup berpengaruh, adalah makin lebarnya jarak antara warga miskin dan kaya. Kesenjangan sosial itu melahirkan bandit-bandit jalanan yang melahirkan kriminalitas. Kondisi itu diperparah dengan gaya hidup banyak remaja yang cenderung hedonis, seperti menenggak minuman keras, berjudi, hingga memakai narkoba.

Semua faktor itu menurut saya turut andil membidani lahirnya aksi kriminalitas di jalan. Seperti penjambretan dan pembegalan motor yang belakangan marak terjadi.

Kriminolog Reza Indragiri Amriel berpendapat, komplotan pembegal sudah membaca fenomena menurunnya rasa ingin menolong di masyarakat. Sehingga mereka berani melakukan pembegalan, meskipun di tempat keramaian. Toh tinggal todongkan senjata, dan para 'pahlawan kesiangan' memilih minggir karena lebih sayang nyawa.

Bahkan, menurut Reza, ada benang merah antara pelaku kejahatan dan penindaknya. Aksi pembegalan menurutnya lebih mirip perampokan, dan sebagai kejahatan perantara. Artinya, pembegalan dilakukan untuk mengumpulkan sumber daya guna melakukan kejahatan utama.

Reza juga menduga ada kemungkinan oknum-oknum aparat penegak hukum yang membekingi dengan cara mempermudah pelegalan barang hasil begal, seperti membuat STNK dan BPKB asli tapi palsu. Barang itu pun dengan mudah dijual karena harganya yang miring. Nantinya uang hasil penjualan barang-barang curian itu dipakai untuk membeli narkoba, atau berkencan dengan pekerja seks komersil.

Sebenarnya banyak cara untuk memberangus kasus pembegalan. Seperti solusi yang diberikan kriminolog Universitas Indonesia (UI), Erlangga Masdiana, yakni aparat kepolisian melakukan tembak di tempat kepada para pelaku.

Entah tembak mati atau tembak di kaki untuk melumpuhkan. Semua itu selain untuk menimbulkan efek jera, juga dapat mengembalikan wibawa polisi di mata masyarakat, khususnya penjahat.

Tak hanya polisi, masyarakat pun perlu kembali mengasah rasa tolong menolong yang saat ini mulai menumpul. Jangan sampai, rasa saling menolong itu tumpul lalu berkarat.

Lingkungan Jakarta dan kota-kota penyangga lainnya yang saat ini sudah tumbuh pesat, ternyata juga mengubah perilaku dan menggerus rasa empati warganya. Bukan salah warganya memang.

Semua itu menurut saya tercipta karena sikap publik figur dan pemimpin kita yang mempertontonkan hidup mewah. Mulai dari presiden, menteri, wakil rakyat, gubernur, bupati, hingga artis yang setiap hari ditonton masyarakat.

Padahal, jika para pemimpin Indonesia berkaca kepada Umar bin Khattab, rakyat Indonesia akan sejahtera. Sebab, khalifah kedua setelah Abu Bakr Siddiq itu tidak pernah mempertontonkan hidup mewah dan glamor.

Pemimpin yang hidup sangat bersahaja dan sederhana, meskipun beliau sendiri kaya raya. Khalifah yang adil, takut kepada Tuhan dan cinta kepada utusan-Nya. Bahkan Rasulullah saw menganugerahinya julukan Al-Faruq atau orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.

Umar, khalifah yang jangankan penjahat, setan pun lari dan memilih jalan memutar ketika bertemu dengannya, bahkan tidak ingin satu pun keluarganya melanjutkan tahtanya. Ia tidak memberikan akses kepada keluarganya untuk menduduki jabatan legit di pemerintahan. Umar rela menjadi orang yang pertama lapar, dan terakhir kenyang asalkan kesejahteraan rakyatnya terjamin.

Model kepemimpinan Umar bisa menjadi salah satu rujukan para pemimpin Indonesia. Sederhana, adil, lembut kepada fakir miskin, tapi juga tegas. Sehingga ia bisa bebas tidur di bawah pohon kurma dan hanya beralaskan jubah, tanpa takut dicelakai.

Jika semua itu diterapkan para pemimpin Indonesia, bisa dipastikan kejahatan seperti pembegalan motor tidak akan terjadi. Karena rakyatnya sudah sejahtera dan terlindungi.


* Tulisan ini dimuat di Republika.co.id, Rabu, 4 Februari 2015

Comments

YOUTUBE