HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Keramik Lukis Nan Unik di Malioboro

4 Januari 2012, saya berkesempatan mengunjungi Kota Yogyakarta. Kali ini liburan, tanpa liputan. Berangkat pakai duit sendiri soalnya, bukan biaya kantor atau sponsor, hehehe.. Tujuan utamanya berleha-leha menikmati keramahan Yogya. Jalan Malioboro yang terkenal seantero Nusantara dan dunia hingga (mungkin) akherat itu, menjadi sasaran saya.

Kunjungan ini adalah kali kesekian saya ke Yogyakarta. Pertama kali saya ke Jalan Malioboro saat masih SMA, tahun 2000. Pergi bersama empat sahabat. Kali ini saya pergi bersama keluarga. Mampir bermalam untuk sekedar melepas rindu. Menumpang mobil saudara, kami diantar hingga ke pintu Hotel Garuda. Check in, dan istirahat.

Jelang malam, lepas Shalat Magrib saya memutuskan untuk berkeliling. Tak sabar kaki ini menjelajah Jalan Malioboro. Membeli kaos oblong, bahan batik, hingga souvenir. Tapi itu bukan tujuan utama saya. Yang saya cari pertama adalah kulinernya; Sego Kucing, Wedang Ronde; dan tentu saja sang primadona dunia makanan Yogyakarta, Gudeg Telor.

Tapi belum lagi saya menjamah tiap sudut jalan, pandangan saya terhenti di sosok pria berusia lebih dari separuh abad. Bambang namanya. Ia mengaku berusia 52 tahun saat itu. Diapit penjual kaos oblong di salah satu sisi Jalan Malioboro, ia sedang bekerja, melukis.

Eits.. jangan bayangkan dia melukis di atas kertas, atau kain. Itu sih biasa, dan mungkin saya tidak akan berhenti. Yang menyita perhatian saya dari Pak Bambang adalah media lukis yang digunakannya. Jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu menawarkan lukisan dengan media keramik. Ya, keramik yang biasa digunakan untuk lantai kamar mandi. Tapi ukurannya lebih kecil.

Di atas keramik itu, Bambang menggoreskan kuas catnya. Di tangan bapak dua anak itu, keramik yang biasa digunakan di kamar mandi disulap menjadi barang seni kelas tinggi. Yee... "Saya sudah 20 tahun dik melukis di atas keramik," kata Pak Bambang saat saya iseng-iseng bertanya.


Saban hari, Pak Bambang mengaku bisa membuat 20 buah keramik lukis. "Kalau lebih dari 20 buah, hasilnya pasti tidak bagus," tutur Bambang dengan logat khas Jawa.

Menurut pengakuannya nih, di sepanjang Jalan Malioboro tidak ada pelukis yang menawarkan lukisan di atas media keramik. Cuman dia satu-satunya. Klaim Pak Bambang memang terbukti, saat saya menyambangi tiap sudut Jalan Malioboro. Pak Bambang cuma satu-satunya yang menjajakan seni lukis di media keramik.

Saat saya berbincang dengan Pak Bambang, beliau lagi bikin lukisan. Tapi kayaknya dia udah terbiasa ditanya-tanyain saat bekerja. Apalagi, ditanyain sama orang yang cuma nanya-nanya aja tanpa niat membeli kayak saya. Yup satu lukisan udah jadi.

"Untuk buat satu lukisan seperti ini, saya butuh waktu 30 menit. Jadi kamu jongkok di sana dan ngobrol sama saya udah setengah jam," kata dia sembari senyum dan meletakkan keramik lukis yang masih basah di meja kayu sampingnya. Aduh malu saya jadinya gangguin orang kerja.

"Sehari laku berapa pak?" tanya saya sambil senyum-senyum. "Enam sampai tujuh buah. Satu buah harganya Rp 60 ribu," jawab Pak Bambang sambil mencelupkan dua kuas lukisnya berukuran 1 mm dan 1,5 mm ke dalam gelas berisi air.

"Biar ndak kaku," kata dia. "Soalnya saya pakai cat akrilik biar lukisannya tidak luntur kalau kena banyu (air, bahasa Jawa)."

Pak Bambang biasa menggelar lapaknya dari jam 9 pagi sampai jam 3 dini hari. "Tapi lukisan yang saya buat di keramik hanya pemandangan alam saja, tidak yang lain," kata dia sembari menyeruput kopi hitam dari gelas plastik bekas air mineral.

Tak mau lama-lama saya pun pamit. Tanpa membeli. hihihi.. Soalnya saya bukan pengagum lukisan. Setidaknya sampai saya pulang ke Jakarta saya nyesel juga gak beli ntu keramik lukis untuk oleh-oleh. Tabik


Januari 2012

Comments

YOUTUBE