HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Nawang Wulan dalam Pelukan

Kereta tiba. Aku melangkah malas ke dalam ular besi. Mencari kursi di gerbong yang masih kosong. Langit mulai menua. Mendung menambah sepuh cuaca. Gerimis mulai berjatuhan di luar jendela. Bayangan dirimu berkelebatan di dalam kaca jendela kereta yang kusam karena jarang dibersihkan.

Kereta mulai bergerak maju. Memburu ruang dan waktu yang bersekutu. Aku ajak mereka bersekutu mencari-cari kamu yang menghilang tiba-tiba karena putus asa.

Hujan menderas di luar jendela. Bayangan kamu perlahan memudar. Luntur dihajar hujan. Rumah-rumah penduduk yang bersolek dengan cahaya lampu tak lagi terlihat cantik. Suara gesekan roda kereta dan ayunan gerbong berebut, berdesakan menggedor-gedor gendang telinga.

Ini adalah tahun ketiga aku pulang pergi saban bulan naik kereta. Menemui istri yang kutitipkan dengan berbekal setia. Hanya setia, dan terkadang beberapa lembar rupiah yang sudah kumal yang kukumpulkan dari kerja di ibu kota.

Tahun pertama sulit. Apalagi akses ke rumah kamu jauh. Tak ada kereta, apalagi pesawat terbang. Mimpi. Mimpi rasanya bisa naik pesawat terbang ke kotamu agar bisa memotong waktu. Lalu menebas kerinduan yang menggumpal lalu membeku. Beruntung, jika dulu aku harus berjibaku dengan bau keringat abang-abang kernet dan tukang ayam dengan naik bus karatan, kini pergi ke kotamu cukup membayar tiket biru. Tiket kereta yang mampu memangkas jarak dan kerinduan.

Tapi yang tak kuinginkan terjadi. Setelah 36 perjumpaan singkat, malapetaka itu datang. Petaka yang tidak pernah terbayangkan. Setidaknya hingga ratusan butiran air asin berebut keluar dari balik lensa alami. Lalu menguap terbawa angin yang tak tau malu masuk dari sela-sela jendela kereta.

Kamu enggan ikut aku banting tulang di ibu kota dan memilih bertahan di kampung halaman sejak ijab kabul. Kukira biasa. Awalnya. Tapi, kecurigaan itu semakin nyata. Tanpa kabar aku memutuskan pulang lebih awal. Tidak seperti jadwal bulanan. "Kenapa tidak beri kabar jika mau pulang," katamu sembari gelagapan ketika melihatku sudah berdiri di depan kamar.

"Kenapa?" tanyaku singkat. Mencoba menerka alasan yang keluar dari bibirmu yang jarang aku kecup.

"Karena aku putus asa," jawabmu singkat.

Tubuhku kaku. Aku yang biasanya tidak peduli dengan ucapan orang kini seperti orang gila yang punya alamnya sendiri. Sejak itu aku putuskan untuk berpisah dunia dengan kamu. Beruntung belum ada malaikat kecil dalam kehidupan aneh yang dijalani selama 1.095 hari.

***

Dua tahun sudah aku menggelandang di ibu kota. Nebeng tidur dan numpang makan di rumah kerabat. Satu ketika, ada seorang guru yang menawarkan tempat berteduh. "Setidaknya sampai kamu punya rumah," kata dia.

Abah, begitu aku memanggilnya dan orang-orang di lingkungan rumahnya. Ia peranakan Arab Betawi. Disegani karena pandai mengaji. Abah tidak punya pesantren. Hanya langgar kecil tempatnya sehari-hari menghadiahkan ilmu yang diwarisinya dari ayahanda. Ilmu itu ia bagikan cuma-cuma kepada santri-santriwati. Terkadang ibu-ibu dan para suami.

"Kamu mau aku nikahkan dengan kemenakan saya?" tanya Abah tiba-tiba di suatu sore jelang berbuka puasa Senin-Kamis.

Aku tidak bisa menolak. Sami'na wa atho'na, bahasa santri. Aku hanya manut. Ikut apa kata guru.

Pernikahan pun digelar. Aku yang sudah bekerja sebagai pengabdi negara, hanya mampu membelikan mahar mukena dan sajadah. Seperangkat alat shalat lalu hafalan Surah Al-Kahfi. Hanum nama kemenakan Abah. Cantik. Kerudung merah yang tidak sempurna menutupi wajah tirusnya. Sayangnya belum ada cinta di hati yang hampir mati.

Setelah tujuh bulan bersama, baru aku tahu jika Hanum ternyata primadona di kampungnya. Tak sedikit pemuda kampungnya yang berebut memiliki pesonanya. "Kamu beruntung," kata pengojek sepeda yang kutumpangi saat berangkat kerja.

"Kamu beruntung bisa dapatkan Hanum. Padahal, banyak yang ingin jadikan dia istri. Pemuda hingga kakek-kakek yang hampir mati. Tapi dia lebih memilih menerima lamaran Abah untuk kamu. Padahal, kamu laki-laki asing. Bukan dari kampung sini. Bukan pula santri," kata pria yang kutaksir usianya sebaya denganku.

Kukulum senyum. Ah, apa aku benar-benar beruntung, tanyaku ke hati.

Tiga tahun aku menyulam rumah tangga. Tapi buah hati yang kunanti tidak kunjung tiba. Tak ada tanda-tanda dari Hanum. Sampai suatu ketika seorang kemenakanku berkunjung ke rumahku yang sederhana. "Paman kenapa murung?" tanya dia menerka.

"Saya ingin punya anak. Punya keturunan. Tapi bibi kamu belum hamil-hamil."

"Sabar paman. Mungkin belum waktunya."

Obrolan ringan yang didengar Hanum itu ternyata berdampak besar. Sejak itu perangai Hanum berubah. Ia sering marah tak jelas. Emosinya sering kali meledak. Ia seperti korek api yang gampang tersulut saat terkena gesekan. Aku hanya kerap mengurut dada melihat perubahan drastisnya. Ia mulai malas diajak bercinta. Melayani sehari-hari seperti sekedar membuatkan kopi pun tak pernah lagi dilakukannya.

Perubahan perangainya membuatku bingung. Sampai satu hari aku menemui satu strip bungkus obat berwarna merah muda dari dalam tasnya. Kecil, lebih kecil dari kancing baju. Rupanya selama ini dia sengaja minum obat kontrasepsi agar tidak hamil setiap kali berhubungan. Dan yang lebih menyakitkan, aku baru tahu ternyata dia tidak menginginkanku jadi suaminya.

Percakapan dengan kemenakanku pun dijadikannya alasan untuk minta berpisah. Emosinya kini seperti bom rakitan yang menunggu diledakkan. Keinginanku yang ingin memiliki anak seperti jilatan api baginya yang membakar sumbu bom agar lebih cepat meledak.

Dia menudingku ingin menikah lagi. Dihadapan keluarganya dan Abah, ia memaksaku menjatuhkan talak. Alasannya sederhana, aku ingin menikah lagi karena Hanum tidak bisa memberikan keturunan.

Gila. Konspirasi macam apa ini. Kenapa aku harus terjebak dengan situasi yang hampir serupa seperti lima tahun lalu. Ini adalah pernikahanku yang kedua. Dan kegagalan lagi-lagi berada di depan mata.

Rapat terbatas itu pun berakhir ricuh. Tapi hanya Hanum saja yang ricuh. Berbagai argumentasi dilontarkanya. Aku tertunduk diam. Abah tetap bijak. Ia juga baru tahu kemenakannya ternyata diam-diam sudah punya kekasih. Dulu Hanum menerima pinangan Abah karena rasa segan. Tapi Hanum tidak menyangka akan menikah dengan pria asing yang tidak pernah ia kenal, darimana asalnya. Lukisan masa depan yang dibangun dengan kekasihnya seolah diinjak-injak pria asing yang menurutnya terlalu angkuh. Jemawa. Dan pria asing itu adalah aku.

"Semua keputusan ada di tanganmu nak," ucap Abah bijak. "Putuskan yang menurutmu baik. Shalat istikharah bila perlu."

Beberapa bulan sebelum peristiwa Malari meledak, aku putuskan untuk melepas Hanum. Melepas perempuan yang perlahan-lahan mulai mengobati luka hati. Tapi, luka hati yang hampir sembuh itu kembali mengangga. Bahkan lebih lebar. Semoga tidak membusuk lalu digerogoti belatung.

***

Cinta kini bagiku hanya legenda. Bualan orang tua yang diturunkan ke anak dan dilanjutkan ke cucu. Seperti cerita Sangkuriang yang menendang perahu lalu menjelma menjadi gunung. Atau seperti kisah Jaka Tarub yang berhasil menikahi bidadari, setelah melakukan perbuatan terlaknat. Mengintip bidadari mandi di air terjun tempat pelangi mendaratkan ekornya. Mengintip gadis manusia mandi saja sudah terkutuk, apalagi dia yang mengintip lalu menyita selendang bidadari. Mahluk suci dari kahyangan. Keji si Jaka Tarub itu.

Imajinasi di kepalaku menerka-nerka seberapa cantik wajah Dewi Nawang Wulan yang membuat Jaka Tarub kehilangan akal sehat. Bentuk wajahnya, matanya, hidung, bibir, lalu mahkota di atas rambutnya. Terlebih bentuk tubuhnya. Mungkin lebih aduhai dari Diana Nasution, penyanyi yang sedang digandrungi pria seantero Indonesia.

Kususun baik-baik sketsa wajah Dewi Nawang Wulan yang kata orang-orang amat sangat teramat cantik. Ketika goresan sketsa itu hampir rampung, bahuku tersenggol secara tak sengaja. Lamunanku buyar. Aku saat itu duduk di pinggir bangku kereta menuju Jakarta. Tidak dekat jendela. Dan yang menyenggol bahuku tersenyum. "Maaf," katanya singkat. "Bangku saya disini. Boleh saya duduk di dekat jendela."

Detik itu aku seperti tau bagaimana rasanya Malin Kundang menjadi batu saat dikutuk ibunya. Kaku. Sketsa dalam kepalaku kini berbicara. Sketsa bidadari yang kugambar dalam imajinasi kini hidup dan berdiri anggun di hadapanku. Sketsa Dewi Nawang Wulan. Bidadari itu bukan di kahyangan, tapi di dalam kereta.

"Silahkan," kataku sembari berdiri memberi ruang untuknya.

Kursi kereta yang kutumpangi kali ini seperti menjelma menjadi tumpukan bebatuan. Di ujung kanan dan kiri berbagai jenis pepohonan rimbun bergelantungan. Sementara di ujung lintasan mataku ada seorang bidadari yang sedang asyik duduk bermain di bawah guyuran air terjun. Dia sendirian, tidak ditemani enam saudaranya yang lain.

Begini sensasi jadi Jaka Tarub. Menikmati kecantikan Dewi Nawang Wulan yang mungkin saat masih cetak biru di surga saja sudah cantik. Teramat cantik. Rasanya menyesal pernah mengutuki pemuda yang kucap berengsek karena mengintip bidadari mandi.

Kini aku seolah menjadi Jaka Tarub. Aku menjadi pengintip. Ekor mataku berkali-kali menoleh ke gadis yang duduk anggun memakai gaun putih berkerah dengan salur garis hitam tipis. Kulitnya putih. Wajahnya membulat. Pipinya gembil. Hidungnya mungil. Tidak mancung, tapi tidak pesek. Sedang. Dagunya menggelantung. Telinganya tertutup rambut sebahu yang diikat dan tidak dibiarkan terurai. Bibir tipisnya terus mengatup. Hingga aku memberanikan diri memulai pembicaraan.

"Kenalkan, saya Nursi," kata saya dengan gesture percaya diri sembari menyodorkan tangan.

Dia menoleh. Gerakan kepalanya yang perlahan semakin membuatnya kian gemulai. Wajahnya kaku, tapi tetap cantik. Mati aku. Dia tidak membalas uluran tanganku.

Tiga detik yang mematikan itu berubah, saat otot bibirnya tertarik hingga membuat pipi gembilnya semakin kenyal. Sepertinya. "Wati," ujar dia sembari mengulurkan tangan.

Pembicaraan pun mengalir. Tak hanya wajahnya yang teduh, sikapnya juga ramah. Kami berbicara banyak. Dari pembicaraan itu mencerminkan kecerdasan pikirannya. Cantik, ramah, cerdas. Aku jadi membayangkan Dewi Nawang Wulan yang saban hari menemani Jaka Tarub.

Empat setengah jam perjalanan di dalam kereta tidak terasa. Hingga kereta bergebong tua memasuki stasiun legenda. Jatinegara.

"Boleh aku tau alamat rumahmu," kususun kalimat tanya itu hati-hati. Perlahan-lahan, agar jangan sampai permintaan gilaku tertolak mentah-mentah.

"Kayumanis, Jakarta Timur," ucap dia sembari mencoretkan alamat lengkap di selembar kertas bekas. Kertas itu lalu diberikannya kepada dan kusimpan di kantong jaket.

"Kamu dijemput siapa?" tanyaku ketika kami berdiri di dekat pintu keluar.

Ia tidak menjawab dengan kata-kata. Telunjuknya menunjuk seseorang berpakaian militer. Angkatan Darat berpangkat Calon Perwira. "Mas," teriaknya sembari melambaikan tangan. Sebelum pergi ia pamit kepadaku. Kami bersalaman, lalu ia melayang ringan seperti angin musim semi.

Aku kembali menjadi Malin Kundang. Mematung. Di ujung sana kulihat Wati memeluk anggota TNI itu. Ia mencium tangannya. Takzim. Tak hanya sekali, tapi dua kali. Punggung tangan lalu telapaknya. Pria itu kemudian menghujani pipi Wati dengan ciuman. Tanpa malu di depan banyak orang. Harapanku pupus. Kisah Jaka Tarub memang hanya legenda.

***

Satu pekan sudah aku berpisah dengan Dewi Nawang Wulan yang turun dari kereta. Bau harum minyak wanginya masih tersisa di ujung hidungku. Aku berkencan dengan ingatan. Setangkup rindu merambat pelan ke dalam dada. Setidaknya matahari lebih paham cara berpamitan. Merelakan keindahan di batas perpisahan. Ah kenapa aku ini. Aku jatuh cinta kepada perempuan yang hanya kutemui empat setengah jam. Gilanya perempuan itu memiliki pasangan. Entah kekasih, atau mungkin suami.

Kuraba kantong jaket katun biru dongker yang selalu kupakai ketika berpergian. Jemari tanganku menemukan sesuatu. Selembar kertas bekas. Kubuka, lalu untaian huruf-huruf membentuk sebuah kata, kalimat, lalu menjelma menjadi alamat. Alamat rumah. Rumah Wati. Kini aku kembali merasakan girangnya menjadi Jaka Tarub. Kertas itu bagaikan selendang Dewi Nawang Wulan yang disimpan Jaka Tarub diam-diam. Kertas itu bagai minyak kesturi yang disuntikkan ke dalam lampu minyak yang nyala apinya hampir padam. Api harapan.

Batinku berperang. Tetap simpan alamat itu, atau buang ke dalam kali yang kini ada dihadapannya. Wati sudah berpasangan. Tapi tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kemungkinan selalu ada, meski sangat kecil peluangnya. Aku harus memastikan siapa tentara itu.

Nekat, kupacu sepeda kumbang pinjaman dari kakakku. Alamatnya tidak jauh dari dari tempatnya kini berdiri. Hari Ahad. Semoga dia ada di rumah, ucapku berharap.

Dikayuhnya sepeda kumbang merek Gazelle. Pasar genjing terlewati. Ia hafal betul jalan itu. Karena saban hari ia melewatinya untuk pergi ke kantor. Setelah perempatan jalan, ia harus belok ke kanan. Lalu gang ketiga atau keempat setelah perempatan itu adalah gang rumah Wati. Ia menerka-nerka. Menggosok ingatannya.

Sepedanya diparkir di depan rumah Wati. Rumah sederhana. Pagar besi beralur tombak kokoh membentengi rumah dengan atap asbes. Jam tangan merek Titus di pergelangan berhenti di angka empat. Sudah sore. Tapi belum terlalu petang untuk bertamu, pikirku.

"Assalamualaikum... Permisi," kataku di depan pintu pagar. Kuulangi sampai dua kali.

Dua menit kemudian, pria bertubuh tegap keluar dari dalam rumah yang pintunya tidak tertutup. Pria dengan wajah yang sama saat menjemput Wati di Stasiun Jatinegara. Gagah, layaknya tubuh tentara. Wajahnya tampan. Aku yang pria saja mengakui ketampanannya. Pantas Wati jatuh ke pelukannya, gumamku.

"Mau cari siapa mas?" suara beratnya membuat lamunanku buyar.

"Oh maaf pak. Saya Nursi. Saya mencari Wati. Boleh saya bertemu?" tanya saya dengan hati-hati. Sedikit terbata.

Raut wajah pria itu berubah. Ia kaget. Bisa terlihat dari alis matanya yang naik dan kulit keningnya mengkerut. Mungkin ia berfikir, siapa pria nekat yang berani-beraninya mendatangi istri seorang tentara. Tapi ia membukakan pintu pagar yang ternyata tidak terkunci. Aku dipersilahkan masuk.

"Temannya Wati? Silahkan masuk. Saya Yatmo," kata dia sembari menjabat tanganku keras.

Baru tiga langkah aku menginjak pekarangan rumah itu, dua anak kecil yang kutaksir berusia enam dan sembilan tahun menghampiri pria itu. "Panggil ibumu. Ada tamu," katanya. Pernyataan pria itu membuat dadaku berdekup. Mati aku.

Digeret dua anak kecil itu, Wati keluar dari dalam ruangan yang tersekat lemari pajangan yang sudah usang. Ia memakai blus warna biru sebetis. Ayu. Wajahnya beringsut terkejut saat mengetahui siapa tamu yang datang. Tapi tak lama ia tersenyum. "Kamu. Nur..Nursi."


Bersamaan dengan itu, seseorang di belakang Wati yang membawa dua buang cangkir putih susu di atas nampan tersenyum.

***

Rabu, 7 Maret 1973 jadi momen terbaik dalam hidupku. Untuk kali ketiganya aku akan menikah. Ditemani tiga kakak dan beberapa keluarga dekat, aku datang ke rumah calon istriku. Membawa sejumlah seserahan dan sebuah cincin emas sebagai mahar.

Di ujung gang janur kuning melengkung. Ada namaku dan calon istriku disecarik kertas putih yang tertempel di salah satu sisi janur. Puluhan orang sudah menanti di depan rumah. Penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) tiba lebih dulu. Aku duduk bersila di depan meja berkaki mini. Dihadapanku sudah ada penghulu, yang berdampingan dengan wali nikah calon istriku. Di samping kananku ada dua saksi. Satu kakakku, dan satu lagi dari pihak calon istriku. Dan yang paling penting adalah, di samping kiriku calon istriku bersanggul dan berkebaya putih duduk manis sembari tak henti melemparkan senyum. Pagi itu, ia sedang cantik-cantiknya.

"Saudara Nursi bin Said, saya nikahkan saudara dengan adik kandung saya, Wati binti almarhum Mukson, dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan sebuah cincin emas dibayar tunai," kata Yatmo, kakak sulung Wati sembari menjabat tangan tanganku.

"Saya terima nikah dan kawinnya..."

***

Wati yang kutemui di kereta ternyata masih gadis. Ia belum menikah. Tentara yang menjemputnya di Stasiun Jatinegara adalah kakak kandungnya. Kenekatannya untuk menyambangi alamat rumah Wati ternyata berakhir manis. Sejak kedatanganku di sore itu, kami mulai akrab.

Hingga tahun ketiga sejak kami sering jalan bersama, aku melamarnya. Gayung bersambut. Lamaranku diterima. Hebatnya, ia tidak banyak meminta. Hanya satu permintaanya jika aku hendak menikahinya. "Bacakan aku surat Al-Kahfi saat ijab kabul," pintanya. Surat favoritku.

***

Kutoarjo, Cirebon, Jatinegara, Klender.
25 November 2010

Comments

YOUTUBE