HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Beranikah Ahok ‘Berpoligami’?

Sejak “pisah ranjang” dengan Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama terus digoda sejumlah masalah. Mulai dari penolakan dirinya menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi, hingga wacana pemakzulannya sebagai pemimpin Ibu Kota. Godaan teranyar adalah Basuki diminta untuk menerima pinangan PDIP yang “menjodohkannya” dengan Boy Sadikin.

Ahok, begitu Basuki biasa disapa, diminta segera menentukan siapa calon wakil gubernur yang mendampinginya untuk memimpin Ibu Kota hingga 2017. PDIP dan Partai Gerindra sebagai “bidan” yang membantu proses kelahiran duet Jokowi-Ahok memenangi Pilkada 2012 pun merasa berhak atas jabatan wagub.

Jika PDIP mengusung Boy Sadikin, Gerindra sepakat mencalonkan Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik. Situasi itu, menurut saya, menjadi menarik. Sebab, di berbagai kesempatan Ahok dan Taufik selalu bersitegang, bahkan saling lempar sindiran.

Taufik berkali-kali menyebut Ahok tidak tahu diri karena sempat menyatakan terpilih jadi wagub atas jasa PDIP. Ahok bahkan berani keluar dari Gerindra karena merasa tidak sejalan setelah partai bentukan Prabowo Subianto itu yang setuju dengan pilkada lewat DPRD.

Sementara dengan PDIP, mantan anggota DPR itu lebih kalem. Ia mengaku akrab dengan Boy Sadikin. Namun, lagi-lagi mantan bupati Belitung Timur itu menegaskan belum tentu Boy dipilih untuk mendampinginya. Padahal, Boy sudah mendapat restu dari Ketua Umum PDIP Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Bukan Ahok namanya jika tidak nyeleneh. Setelah memutuskan keluar dari Gerindra, ia menyatakan tidak bakal masuk partai politik lainnya dan bakal fokus membenahi Jakarta. Karena tidak ingin bersentuhan dengan parpol, Ahok pun menghindari memilih pendamping yang diusung PDIP dan Gerindra.

Dalam banyak kesempatan, Ahok mengaku sudah memiliki pilihan sendiri. Pun, ketika sowan ke Megawati demi meluruskan pemberitaan yang menyebut PDIP mengusung Boy.

Kepada putri mantan presiden Sukarno itu, Ahok disebutkan sudah menyodorkan satu nama yang bakal mendampinginya. Ia menyatakan kepincut dengan kinerja mantan deputi tata ruang dan lingkungan hidup Jakarta, Sarwo Handayani. Dan, itu menjadi sinyal kuat jika Sarwo Handayani adalah pilihannya.

Sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014, usulan wagub bukan dari partai, melainkan dari gubernur. "Bu Mega tidak mau saya kerja setengah mati, seperti dikawin paksa," kata Ahok mengomentari pertemuannya dengan Megawati.

Pertanyaannya, jika PDIP atau Gerindra memaksa agar calonnya diterima, beranikah Ahok “berpoligami”? Apalagi dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 168 Ayat 1, disebutkan provinsi dengan jumlah penduduk di atas 3-10 juta jiwa bisa memiliki lebih dari satu wagub. Artinya, Jakarta yang berjumlah sekitar 10 juta jiwa berpotensi memiliki tiga wakil.

Jika Ahok memilih Sarwo Handayani atau Djarot, Boy Sadikin ataupun M Taufik harus siap dimadu. Itu pun jika Ahok memutuskan menggunakan tiga wagub. Meski dalam satu kesempatan, ia mengakui empat deputi yang dipimpinnya tidak cukup membantu menyelesaikan tugas gubernur, bukan berarti Ahok setuju berpoligami.

Secara pribadi, saya setuju jika Ahok memilih Sarwo Handayani sebagai pendampingnya. Pengabdian Yani, sapaan Sarwo selama 20 tahun di pemerintahan DKI Jakarta, bisa menjadi pertimbangan utama.

Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta menurut saya adalah salah satu mantan deputi gubernur terbaik. Pengamalannya di lingkungan Pemprov DKI selama dua dekade bisa menjadi jaminan ia menguasai berbagai masalah di Ibu Kota. Apalagi, ia dikenal sebagai pegawai negeri sipil pekerja keras.

Kelebihan lainnya jika Yani mendampingi Ahok adalah ia tidak bisa fokus memikirkan kepentingan warga Jakarta. Ia pun bebas mendapatkan intervensi dari partai politik. Ahok bahkan memuju Yani sebagai PNS yang berkompeten dan berkualitas dalam mewujudkan sebuah Jakarta Baru.

Apalagi, Yani dinilai menguasai program unggulan Jakarta, seperti jalan layang kereta api dan tanggul raksasa (giant sea wall). Dan yang paling penting, Yani yang beragama Islam bisa meredam desakan Ahok untuk meletakkan jabatannya sebagai gubernur DKI. Sebab, Yani bisa dinilai mewakili dan mengawal kepentingan umat Islam di Jakarta.

Hemat saya, PDIP tak perlu lagi ngotot mengurusi rumah tangga Pemprov DKI. Pun, dengan Gerindra. Akan tetapi, bukan berarti Ahok bisa seenaknya saja memilih wagub tanpa meminta pertimbangan dari dua partai pengusungnya.

Alangkah eloknya jika Ahok, Gerindra, dan PDIP duduk bersama memilih orang nomor dua di Jakarta. Semua itu bukan lagi untuk kepentingan partai, melainkan untuk membawa Jakarta dan warganya sejahtera. Tabik.

Comments

YOUTUBE