HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Polisi-TNI Berkelahi, Mau Dibawa ke Mana NKRI?

Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga.

Begitu bunyi pidato Jenderal Besar TNI Anumerta Raden Soedirman di Yogyakarta pada 12 Nopember 1945 silam. Bagi Jenderal Soedirman, seragam dan pangkat bukan untuk berkuasa, tapi untuk mengabdi kepada negara dan rakyatnya. Sayang seribu sayang, sebagian besar para penerus Jenderal yang lahir di Purbalingga 24 Januari 1916 itu, kini punya pandangan berbeda soal seragam dan pangkat.

Tak sedikit anggota TNI dan Polri yang memanfaatkan seragam untuk 'petantang petenteng'. Bukannya menjadi pengayom dan pelindung masyarakat, justru warga malah merasa tidak aman akan kehadiran aparat.

Tengok saja konflik antara Polri dan TNI di Sumatra Selatan, Kamis (7/3). Bak bara dalam sekam, meski TNI dan Polri sepertinya adem ayem dan menjalin persahabatan, toh konflik di antara kakak beradik ini acapkali meletus. Selain memakan korban jiwa di antara kedua institusi, konflik antara TNI dan Polri kerap merugikan masyarakat.

Gesekan di TNI dan Polisi di Sumsel pecah saat Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) diserang dan dibakar sekelompok anggota TNI. Beberapa saksi melihat beberapa polisi lari terbirit-birit dari kantor mereka dengan kondisi luka-luka.

Pembakaran itu membuat suasana Kota Baturaja cukup mencekam karena banyak polisi mengungsi ke kantor Polisi Militer (PM) di dekat mes dosen Universitas Baturaja. Konflik itu membuat warga Kota Baturaja dilanda ketakutan. Warga takut beraktivitas ke luar rumah karena khawatir menjadi sasaran aksi brutal.

Ratusan prajurit Prajurit AD dari Batalyon 76/15 Armed Tarik Martapura yang berseragam lengkap menjadikan Mapolres OKU sasaran kemarahan. Tak hanya bangunannya, delapan orang dilaporkan menjadi korban. Bahkan kabarnya dua anggota polisi tewas, satu kena tembakan, dan satu nyawa hilang lantaran digorok sangkur seorang oknum penyerang.

Kerugian tak hanya bersifat material dan nyawa saja. Masyarakat semakin cemas lantaran 16 tahanan Mapolres OKU berhasil melarikan diri.

Kejadian itu membuat petinggi TNI AD dan Polri di Jakarta menggelengkan kepala. Presiden SBY ikut berteriak agar oknum TNI yang melakukan pengerusakan ditindak.

Sejatinya, tak tepat jika ini disebut konflik antarkesatuan. Sebab, bentrokan acapkali dipicu masalah sepele dan pribadi. Namun karena kata solidaritas korp terlebih 'lawannya' dianggap sebanding, maka konflik itu menjelma menjadi antarkesatuan.

Awalnya, konflik di OKU hanya dipicu persoalan pribadi, lebih tepatnya ego kesatuan antara Brigadir Wijaya, anggota Polantas Polres OKU dan Pratu Heru Oktavianus dari Batalyon 76/15 Armed, akhir Januari 2013. Heru kabarnya tewas ditembak dan Wijaya ditetapkan sebagai tersangka.

Guna mencegah konflik tak meluas, Polri dan TNI Siaga I. Meski kedua pimpinan sepakat berdamai, tapi bara konflik ternyata masih membara di OKU. Rekan-rekan satu korp Heru mempertanyakan tindak lanjut kasus penembakan rekannya, dan rasa ketidakpuasan itu menjadi embrio pembakaran Mapolres OKU.

Konflik itu bukan satu-satunya yang melibatkan Polri dan TNI. Berdasarkan catatan Kontras yang dirilis pada 2012, setidaknya terjadi 26 kali bentrok TNI-Polri. Artinya, dalam sebulan setidaknya terjadi dua kali bentrokan.

Sepanjang 2012 saja bentrokan sudah menewaskan sebelas orang, tujuh dari Polri dan empat dari TNI, dan 47 aparat dari dua institusi terluka.

Adu jotos antara oknum TNI dan Polri memang bukan satu dua kali terjadi. Selain kasus pembakaran Polres OKU, kasus teranyar terjadi tahun lalu saat anggota Brigade Mobil atau Brimob terlibat bentrok dengan Prajurit Kostrad di Gorontalo. Lagi-lagi dalam insiden itu ada nyawa yang melayang sia-sia, bukan untuk negara, tapi hanya untuk keegoisan semata.

Kini yang jadi pertanyaan mengapa bentrokan antarkesatuan itu masih sering terjadi, padahal TNI dan Polri digaji negara yang uangnya diambil dari pajak rakyat. Jika sesama saudara sebangsa saja sudah saling sikut, bagaimana mereka sebagai penjaga keamanan menjaga keutuhan NKRI dan kemana lagi rakyat akan bersandar. Seperti kata pepatah, kalah jadi abu, menang jadi arang.

Sejatinya banyak faktor yang membuat sentimen antara TNI dan Polri terus tumbuh bak tumor ganas yang gagal dioperasi. Ego sektoral masih melekat kuat, sehingga hal-hal kecil bisa memicu konflik antarkesatuan.

Padahal, keduanya lahir dari rahim yang sama, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun pascareformasi, ABRI 'dibubarkan' lalu menceraikan TNI dan Polri. Jika Polri menjadi institusi yang memiliki kedudukan di bawah Presiden RI dan bertugas menangani masalah keamanan, lain halnya TNI. Ketiga angkatan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia yang memiliki fungsi pertahanan.

TNI dan Polri saat ini bisa dibilang adalah generasi ketiga dari institusi yang dibentuk pemerintah untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara.

Cikal bakal TNI dan Polri lahir dari embrio institusi bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk dalam sidang PPKI pada 22 Agustus 1945. Lalu pada 5 Oktober 1945 BKR berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kembali bersalin nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sementara Polri terlahir dari pembentukan pasukan keamanan yang terdiri dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Saat itu mereka disebut Bhayangkara.

Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.

Namun yang pasti pemisahan tugas antara Polri dan TNI sedikit banyak melemahkan kedua institusi. TNI yang kembali ke barak dengan tugas-tugas pertahanan dan menjaga keutuhan NKRI, sementara Polri mengambil alih tugas-tugas keamanan sipil yang lebih banyak berurusan dengan penegakan hukum karena banyaknya kasus-kasus kriminal.

Bisa jadi karena pemisahan itu, semangat membela negara melemah di institusi Polri akibat jarang berurusan dengan tugas mempertahanan kedaulatan negara. Pun sebaliknya, semangat penegakan hukum justru di TNI melemah karena jarang berurusan dengan persoalan-persoalan hukum di masyarakat. Pemicu konflik lantas muncul ketika ada 'perang' kecil antaroknum di lapangan, dimana masing-masing pihak merasa superior.

Mengutip pernyataan Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Sarlito Wirawan Sarwono dalam artikel berjudul 'TNI versus Polri', sejatinya tidak ada konflik antara TNI dan Polri. Yang ada adalah the Real Conflict Theory (RTC) seperti disebut seorang psikolog asal Turki, Muzafer Sherif.

RCT adalah pengembangan sikap insider-outdsider sebagai akibat adanya sumber yang terbatas, baik yang riil maupun yang hanya dipersepsikan, yang harus diperebutkan untuk memperolehnya. Untuk menghilangkan RCT, kata Sarlito, adalah menghilangkan sumber konflik atau menciptakan suatu sumber atau tantangan baru yang harus dan bisa dicapai dengan menyinergikan kekuatan kedua pihak yang berkonflik. Sehingga, TNI dan Polri bisa bekerja sama karena memiliki 'musuh' yang sama.

Jika sudah begitu, TNI dan Polri seperti kata Jenderal Soedirman, tidak akan tergelincir dalam segala muslihat dan provokasi-provokasi yang tampak dan tersembunyi serta waspada dan bertindak sebagai patriot.

"Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi jiwaku dilindungi benteng merah putih, akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun lawan yang aku hadapi," kata Jenderal Soedirman di Yogyakarta, 17 Agustus 1948.

Comments

YOUTUBE