HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Pengadilan untuk Pribumi di Zaman Belanda

Di era Indonesia masih bernama Hindia Belanda, ada sidang pengadilan bagi warga pribumi maupun warga Belanda yang melakukan tindak kejahatan.

Salah satu tempat yang acap kali dijadikan tempat sidang adalah Meester Cornelis Regentschapwoning, di Meester Cornelis sebelum akhirnya berganti nama menjadi Jatinegara. Kantor pengadilan itu sering ditulis nama De Landraad in Meester Cornelis te Batavia atau Kantor Pengadilan Meester Cornelis.

Di zaman itu, sidang pengadilan memang berlangsung di rumah penguasa lantaran persidangan tidak berlangsung setiap hari. Gedung yang letaknya persis di seberang Stasiun Jatinegara itu kini sudah direvitalisasi.

UU Hukum Belanda di pengadilan saat itu disesuaikan dengan hukum adat yang berkaitan dengan hukum Islam. Karena itu pengadilan yang terdakwanya warga pribumi harus didampingi oleh seorang kadi yang menguasai hukum fiqih (agama Islam).

Coba tengok foto suasana pengadilan di gedung yang pernah menjadi markas Kodim Jakarta Timur tersebut. Terlihat empat tersangka duduk di ubin tengah diminta keterangan oleh hakim dan jaksa (tengah). Sementara di kursi kedua bagian kiri tampak seorang kadi bersorban dengan tekun mengikuti jalannya persidangan. Sedangkan di ujung sebelah kanan tampak wakil dari regent karena peristiwa terjadi di daerahnya.

Pengadilan di masa Kolonial memang tidak mengenal diskriminasi. Warga Belanda yang diadili juga harus duduk di ubin, tidak peduli pangkat dan jabatannya. Termasuk seorang residen, jabatan semacam bupati sekarang ini yang diisi warga Belanda.

Melihat busana yang mereka pakai, tiga orang yang diajukan sebagai terdakwa rupanya dari keluarga terhormat. Dalam struktur kolonial juga terdapat Asisten Residen. Contohnya adalah Max Havelaar yang menjadi asisten residen Lebak di Banten. Dia dibantu seorang kontrolir.

Pengadilan kolonial tidak mengenal pembela melainkan saksi dan tuduhan dibacakan dalam bahasa Belanda. Bila di pengadilan terdakwa tidak terbukti bersalah, dia akan dibebaskan.

Bila bersalah apalagi sampai melakukan pembunuhan, vonis hakim adalah hukuman gantung. Sementara ketua persidangan menanyakan terdakwa, "Amat apa kowe (kamu, bahasa Jawa) tau dan jelas itu semua tuduhan." Ketika dijawab si Amat, "Belum jelas tuan besar."

Lalu tuduhan dibacakan dalam bahasa Melayu oleh penerjemah. "Kowe tanggal sekian bulan sekian melakukan penganiyaan hingga korban meninggal dunia," kata penerjemah.

Apabila si tertuduh menyangkal atas perbuatannya yang dituduhkannya, maka sang kadi akan bertanya, "Apa kamu berani sumpah akan dikutuk Allah bila berdusta?" Biasanya si terdakwa tidak berani berbohong. Dan tentu saja jika memang melakukan kejahatan, tersangka akan mengaku.

Comments

YOUTUBE