HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Cinta Monokrom

Aku mencintaimu seperti kata yang tidak pernah ditemukan dalam kamus bahasa untuk menjelaskan kedalamannya.

Tiga ribu dua ratus sembilan puluh empat hari aku mengajakmu bersama mengembangkan layar rumah tangga. Sampai hari ini pun rasa itu belum memudar meski sempat sedikit aku melupakanmu.

Aku mulai menaruh hati sejak mengeja isi pesan singkat dari nomormu di ponsel monokrom milikku. Aku mulai memikul rindu sejak mendengar renyahnya suara tawamu dari berlainan distrik, dan aku mulai ditawan kegelisahan sejak mengkhitbahmu di ruang tamu yang berisi bapak, ibu, dan saudara serta saudarimu. Kalau boleh jujur, saat itu waktu terasa jauh lebih panjang daripada menunggu jadwal sidang skripsi.

Serpihan-serpihan perasaan itu sulit aku jelaskan dengan kata-kata yang tidak aku temukan dalam kamus bahasa untuk menjelaskan kedalamannya. Hingga akhirnya kubeli sekerat tipis bongkahan emas yang dilebur dan dibentuk lingkaran agar terpaut di jari manis sebagai mahar.

Bermodal itulah kuberanikan diri meminta seikat restu dari orang tua untuk menjadi pengganti mereka menjagamu di dunia dan akhirat kelak. Saat itu kamu begitu jelita. Berbalut ribuan benang yang terpintal menjadi kebaya kuning gading, kamu terlihat elok menawan. Riasan sederhana membuat wajahmu saat itu teduh, sejuk, adem, seperti ubin mushollah di dekat rumahku. Sampai-sampai adik perempuan dari ayahku yang sengaja datang dari negeri di mana udang-udang rutin berkunjung untuk berkembang biak, memuji kecantikanmu.

Udara baru saja dibaluri cahaya lembut berwarna jingga, ketika tangan kekar berkeriput bapakmu menggenggam tangan kerempengku. Sedikit guncangan dan kalimat suci yang menggetarkan arsy terucap sebagai tanda kamu menjadi penyempurna agama. Sejak statusmu berubah menjadi seorang istri, sejak itulah mencintaimu adalah harga mati.

Sekarang, izinkan aku meminta maaf kepadamu. Maafkan jika selama tiga ribu dua ratus sembilan puluh empat hari waktu yang kamu miliki terbuang percuma hanya untuk menutupi semua aibku, bersabar mendengarkan kegelisahanku, menyempurnakan semua kekuranganku, melindungi keegoisanku, dan memeluk sayapku saat hendak terbang menjauh.

Kini, mintalah apa saja kepadaku. Asal jangan minta aku untuk meninggalkanmu.*)

--- 23 Maret 2008 - 23 Maret 2017, ketika jarum-jarum pinus meneteskan kebeningan di awal hari.

Comments

YOUTUBE