HEADLINE

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid-19

  Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif. Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya. Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokt

Bocah Penjual Kerupuk dan Ayah Tunanetra

Bocah berpakaian lusuh menebar senyum kepada setiap pengendara sepeda motor dan pengendara mobil yang masuk ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jalan Ciputat Raya, Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Ia bukan meminta-minta, melainkan menjual kerupuk ikan.

Rahmat namanya. Usianya baru 11 tahun. Yang menjadikan bocah putus sekolah itu istimewa adalah karena ia berdagang untuk menemani ayahnya yang tunanetra.

Ayahnya, Ade Djunaedi (35 tahun), duduk bersandar di salah satu sudut teras SPBU, sekitar lima meter sebelum mushala. Kerupuk-kerupuk terbungkus plastik itu diletakkan di lantai teras. Saat berbincang dengan saya, Sabtu, 22 Maret 2014 lalu, Ade mengaku tidak memaksa putra sulungnya itu membantu dia berjualan. "Saya senang bantu ayah," kata Rahmat.

Rahmat adalah putra tertua Ade. Di rumahnya, Rahmat masih punya empat adik. Adik bungsunya berusia dua tahun. "Alhamdulillah, saya diberi anak banyak," kata Ade.

Ade menceritakan, matanya tidak melihat karena kecelakaan. Saat usianya 12 tahun, mata kirinya tersambar belati teman mainnya di kampung halaman, Pelabuhan Ratu, Karawang, Jawa Barat. "Dulu saya tidak dibawa ke dokter. Namanya juga tinggal di kampung. Lama kelamaan, kedua mata saya tidak bisa melihat," kisah Ade.

Beruntung, Ade punya istri yang bisa menerima keadaan fisiknya. Meski tidak memiliki fisik normal, istri Ade tetap setia menjaga anak-anaknya. "Istri saya dulu kerja di rumah makan, tapi karena anak-anak tidak ada yang jaga, jadi dia jadi ibu rumah tangga."

Rahmat, siang itu, hanya memakai kaus oblong yang karet kerahnya sudah mengendur, sehingga tulang di bawah lehernya terlihat. Kaus bergambar tokoh kartun Batman berwarna putih kecokelatan dan merah yang dipakai Rahmat juga sudah berlubang di beberapa bagian. Sedangkan, Ade lebih rapih dan bersih. Ia memakai kaus berkerah berwarna abu-abu dipadu celana bahan hitam.

"Biar saya bisa shalat. Kalau shalat, saya tinggal ke mushala belakang," kata Ade sembari menunjuk ke ruangan mushala SPBU dengan ibu jari tangan kanannya.

Dalam sehari, Ade mampu menjual 100 bungkus kerupuk ikan. Satu bungkus berisi empat kerupuk ikan berukuran besar dijual Rp 6.500, sementara satu bungkus berisi 21 kerupuk ikan berukuran kecil ia hargai Rp 15 ribu. "Alhamdulillah, cukup untuk kebutuhan anak-anak," ucap Ade. Tidak jarang, orang-orang yang membeli kerupuknya tidak meminta uang kembalian.

Ade mengaku mendapat pasokan kerupuk dari pabrik di Tangerang. Terkadang, ia sendiri yang harus mendatangi pabrik kerupuk untuk mengambil kerupuk dagangannya. Bersama Rahmat atau istrinya, ia harus naik-turun angkot. Tapi, tak jarang juga ada karyawan pabrik yang mengantarkan kerupuk ke rumahnya.

Di SPBU Pondok Pinang Ade mengaku baru beberapa hari mangkal di sana. Sehari-harinya, ia biasa berjalan keliling masuk keluar kampung. Tak jarang, ia berjalan dari rumahnya di Rempoa ke bilangan BSD, Tangerang, Banten, atau ke sekitar Cilandak, Jakarta Selatan.

Ade mengaku, biasa berjualan mulai 09.00 WIB hingga 21.00 WIB. "Bisa 20 kilometer saya jalan. Jadi bolak-balik 40 kilometer," kata Ade sembari menunjukkan tongkat dari bahan almunium yang membantunya berjalan.

Rahmat selalu mendampingi Ade setiap berjualan. Ia mengaku, tidak malu membantu sang ayah menjajakan jualanannya. "Yang penting halal," kata Ade.

Ade mengakui, Rahmat tidak pernah mengeluh ketika membantunya berjualan, meski menguras waktunya bermain.  Tapi, suatu ketika Rahmat mengaku pernah diejek temannya karena jualan kerupuk. "Cuek aja. Rahmat bantu ayah juga untuk nabung buat biayain Umi naik haji," ujar Rahmat yang mengaku tahun ajaran baru nanti bakal kembali masuk sekolah.

"Umi itu neneknya di kampung yang ngurus dia (Rahmat) dari kecil," timpal Ade.

Comments

YOUTUBE