Sahabat datang dan pergi, Tapi silaturahim harus tetap terjalin.
Malam itu, Jalan Raya Lenteng Agung lengang. Hanya dua hingga tiga mobil yang lewat. Santai aku pacu kuda besi kesayangan, meski jalanan malam itu amat menggoda untuk menarik full tuas gas. Namun, aku urung berkebut ria.
Kulihat halte bus di depan Kampus Tercinta nyaris gelap, tak ada cahaya berpendar. Kalau tak dibantu dengan sorotan lampu jalanan, mungkin halte itu tak berbeda jauh dengan warung remang-remang.
Kutolehkan kepalaku ketika melewati pintu gerbang Kampus Tercinta. "Banyak kenangan dibalik gerbang itu, ketika lima tahun aku berjuang untuk meraih gelar sarjana," aku membatin.
Kotak memori semakin terbuka ketika melewati salah satu gang yang letaknya tak jauh dari kampus pencetak para kuli tinta itu.
Ya, gang itu bernama Gang Sukun. Di gang itu, banyak memori yang tersimpan, ramai meski tak bergelora seperti dulu, sekira tujuh tahun lalu ketika kekeluargaan terangkum disana. Keluarga Sukun. Di salah satu rumah petak kontrakan yang menjadi basecamp aku dan sahabat-sahabat semasa kuliah, keluarga sukun terlahir.
Di sana asimilasi terjadi. Tak mengenal suku, tak mengenal usia. Kami berbaur menjadi sebuah keluarga kecil. Layaknya keluarga kecil, perselisihan pun pasti kerap terjadi. Namun, itu tidak bisa melepaskan eratnya tali ukhuwah yang melekat kuat.
Di kontrakan itu, semua kisah terjadi. Ia menjadi saksi semua kenangan itu digoreskan. Kenangan saat malas kuliah dan memilih main playstation, kenangan saat seorang sahabat menangis saat baru diputuskan pacarnya, kenangan saat menaruh hati pada sahabat sendiri, hingga kenangan saat seorang sahabat terus menerus memandang secarik kertas sakti warna kuning, saat angka Indeks Prestasi (IP) yang tercetak didalamnya tertulis 2,68. Ia terus menerus memandangi, tersenyum, tertawa dan merasa puas.
Kini aku tak tahu siapa yang menempati kontrakan itu. Toh kami juga sudah jarang bertemu. Namun bukan berarti tidak bertegur sapa. Berbalas pesan lewat jejaring sosial masih kerap terjadi. Meski raga tak bertemu, setidaknya hal itu bisa menghapus rasa rindu.
Meski sudah memiliki kehidupan sendiri, tapi tak mudah untuk tak setia dengan mereka. Sebagian sahabat sudah ada yang membangun keluarga, bahkan sudah ada yang pergi ke alam baka. Ah, sahabat memang datang dan pergi, tapi silaturahim harus tetap terjalin.
Malam itu, lapar menghajar perut kecilku. Ku cari warung tenda di pinggir jalan, dan bebek bakar kesukaanku menjadi
menu makan malam. Sembari menunggu pesanan datang, ku raih ponsel untuk mengecek email. Ada pesan baru disana, dari seorang sahabat yang meminta doa restu karena ingin menikah.
Senyumku mengembang. Alhamdulillah, satu lagi sahabat pergi dari kelajangan. Tak sabar menunggu hari bahagia itu, karena hanya saat moment tertentu saja, kami bisa berkumpul lengkap, untuk sekedar menghangatkan kembali kebersamaan yang sudah hampir basi termakan usia.
Kata orang rindu itu indah, dan kini rinduku semakin membesar, rindu untuk membagi kisah dan mengejar waktu kebersamaan yang hilang ditelan kesibukan dunia.
Jakarta, 3 Januari 2011
Didedikasikan untuk keluarga sukun, khususnya alm. Bayu Sanjaya Putra...
"Sayah Rindu Kebersamaan Itu"
Comments
Post a Comment